Wabah Ulat Bulu di Probolinggo
MAKALAH
Oleh
Mukhamad Fathoni
NIP. 198002162005011003
YAYASAN
PONDOK PESANTREN NURUL HUDA
MTs
NURUL HUDA SUKARAJA OKU TIMUR
Alamat:
Jln.
Kotabaru Sukaraja Buay Madang OKU TIMUR Sumsel 32161
Telp/Hp.
085764669469; e-mail: mtsnh.skj@gmail.com
2011
Wabah Ulat Bulu
A.
Latar Belakang
Fadil Abidin
(2011) mengatakan,
Secara
umum ulat merupakan makhluk hidup yang mengalami metamorfosis (perubahan bentuk
dalam siklus hidupnya). Dimulai dari telur, menetas menjadi larva (ulat),
kepompong dan kupu-kupu. Pada fase menjadi larva inilah mereka akan makan daun
sebanyak-banyaknya sebelum berhenti makan ketika menjadi kepompong.[1]
Metomorfosis
dari ulat bulu berawal dari telur, larva, kepompong, dan kupu-kupu. Siklus
hidup ulat bulu dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1, Siklus Hidup Ulat Bulu
Pada fase
menjadi larva inilah yang disebut sebagai ulat. Pada fase ini, ulat makan
banyak daun sampai menjadi kepompong. Keberadaan ulat bulu bukanlah hal yang
mengejutkan, tetapi ketika populasinya meledak tentu akan menjadi masalah yang
meresahkan bagi masyarakat. Apalagi masyarakat yang belum mengetahui cara
menanggulangi wabah ulat bulu.
Harian Kompas
(2011) menyebutkan,
Fenomena
teror ulat bulu merebak ke sejumlah daerah di Indonesia. Ternyata musibah ini
juga pernah terjadi di beberapa negara maju di dunia, termasuk USA. Beberapa
laporan ilmiah di jurnal Internasional mencatat wabah serupa pertama kali
terjadi di New Mexico, USA pada tahun 1981. Saat itu terajadi wabah serangan
ulat bulu jenis Hemileuca nevadensis. Wabah yang
lebih hebat terjadi di daerah San Antonio, Texas USA pada tahun 1923 karena
serangan ulat bulu jenis Megalopyge opercularis yang menyebabkan
gejala klinis lebih berat. Wabah saat itu bahkan memaksa pemerintah negara
bagian San Antonio, Texas untuk meliburkan sekolah dasar dan
menengah selama beberapa hari. Pemerintah negara bagian Texas cepat tanggap dan
segera melakukan penatalaksanaan untuk mengatasi masalah ini. Program sukses,
wabah pun hilang. Ulat bulu-ulat bulu ini ternyata tidak kapok, populasi mereka
meledak kembali pada tahun 1951 di Galvestone, Texas. Sekali lagi karena telah
belajar dari masalah terdahulu, pemerintah sukses mengatasi wabah ini dengan
baik.[2]
Wabah ulat bulu
ternyata pernah terjadi juga di negara lainnya seperti Amerika Serikat. Pemerintah
Amerika Serikat mampu menyelesaikan permasalahan wabah ulat bulu tersebut
dengan cepat karena kesigapan pemerintah dalam menghadapinya. Pemerintah
Amerika Serikat telah belajar dari pengalaman menghadapi wabah ulat bulu
sebelumnya. Kesigapan inilah yang diperlukan pemerintah Indonesia, agar
masyarakat tidak menganggap ulat bulu sebagai teror yang menakutkan.
Guru Besar Ilmu
Hama Tanaman IPB, Aunu Rauf mengungkapkan,
Ulat
bulu yang berkembang biak di Probolinggo ini merupakan ulat bulu jenis
Lymantria Marginanta. Ulat bulu ini merupakan ulat jenis baru yang belum pernah
dijumpai sebelumnya. Ciri-ciri Lymantria Marginanta, ulatnya agak besar dan
bulu di kepala yang menjorok ke atas sebanyak dua buah. Sedangkan ulat di
Probolinggo ini bentuknya lebih kecil dan bulu di kepala hanya satu buah. Bulu
dari ulat ini bisa menyebabkan gatal gatal pada kulit bagi orang yang alergi.
Ulat jenis ini memang ulat yang menyerang pohon mangga yang mengakibatkan
mangga tidak berbuah atau masa berbuah tertunda.[3]
Tahun 2011,
Indonesia dikejutkan oleh wabah ulat bulu yang melanda daerah Probolinggo,
jenis ulat bulu tersebut termasuk jenis baru yang belum dijumpai. Identifikasi spesis ulat bulu penting untuk
dilakukan agar kesalahan identifikasi dapat dihindari sebagai langkah vital
sebagai dasar penyusunan pengambilan keputusan strategi pengendaliannya.
Ulat bulu bukan
spesis yang membahayakan manusia, tetapi ledakan populasi ulat bulu yang tidak
terkendali menyebabkan keresahan masyarakat, karena memakan daun-daun pohon
yang ada di sekitar rumah penduduk, bahkan sampai masuk ke dalam rumah-rumah
penduduk. Berikut adalah gambar ulat bulu yang mewabah di Probolinggo.
Gambar
2, Ulat bul yang menyerang di Probolinggo
Wabah ulat bulu
yang terjadi di Probolinggo dan daerah lain di Indonesia menimbulkan pertanyaan
besar, antara lain: Apa penyebab wabah ulat bulu? Bagaimana dampak wabah ulat
bulu? Bagaimana langkah menanggulangi wabah ulat bulu?
Berbagai pihak memberikan
perhatian serius dengan cara melakukan penelitian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut, antara lain pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga-lembaga lain. Bentuk
perhatian serius tersebut harus dilakukan karena memang berhubungan langsung
dengan sebagian masyarakat Indonesia, khususnya petani.
B.
Pembahasan
1.
Faktor
penyebab wabah ulat bulu
Menurut Gubernur
Jatim, H Soekarwo (2011),
Adanya
fenomena ulat bulu di Probolinggo itu lebih karena faktor cuaca. Artinya, curah
hujan yang selama ini cukup tinggi membuat daun di sekitar pohon mangga
membusuk dan menyebabkan munculnya organisme baru, seperti larva dan ulat.
Sehingga, pihaknya memerintahkan penanganannya pada Dinas Pertanian Jatim untuk
mengambil langkah pencegahan agar wabah tak terus berkembang.[4]
Curah hujan
yang tinggi menjadi salah satu penyebab wabah ulat bulu. Air hujan menyebabkan
daun-daun yang tidak dibersihkan dan menumpuk di bawah pohon mangga menjadi
membusuk. Hal ini menjadikan tempat di bawah pohon mangga lembab dan
menyebabkan kemunculan larva dan ulat.
Ketua Unit
Rumah Sakit Hewan dan Pendidikan Setail, Liang Kaspe (2011) mengatakan,
Wabah
ulat bulu ini terjadi karena tidak adanya kesimbangan ekosistem dalam rantai
makanan di wilayah Probolinggo. Seperti populasi burung pemakan ulat dan semut
keranggang yang biasa memangsa ulat bulu, kini jumlahnya banyak berkurang. Selama ini banyak burung yang ditangkap dan
ditembak dan semut keranggang yang masih berupa kroto (telur) sudah diambil
warga untuk dijual, sehingga ketidakseimbangan ekosistem dalam rantai makanan
ini membuat populasi ulat bulu terus meningkat, [5]
Keadaan
tempat komunitas organisme hidup lingkungan yang tidak seimbang memicu wabah
ulat bulu. Populasi burung-burung pemakan ulat banyak berkurang karena
perburuan liar yang semakin marak dan tidak terkendali. Selain itu, keberadaan
semut keranggang yang juga memakan ulat telah banyak berkurang. Warga mengambil
telur semut keranggang (kroto) untuk dikonsumsi atau dijual. Kegiatan perburuan
dan pengambilan kroto ini telah memutus rantai makanan dari ulat bulu, sehingga
menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem. Karena pemakan ulat bulu telah banyak
berkurang, maka ulat bulu yang seharusnya dalam kondisi normal sebagai makanan
dari burung dan semut keranggang menjadi meledak dan menyebabkan populasi ulat
bulu tidak terkendali.
Kepala
Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Pertanian Kementerian Pertanian,
Haryono (2011) menyatakan,
Penyebab meningkatnya populasi ulat
bulu di sejumlah daerah di Tanah Air sudah bisa disimpulkan. Dinamika
peningkatan populasi ulat bulu penyebabnya kurang lebih sudah convergent (memusat)
pada perubahan ekosistem, baik yang hayati (biotik) maupun nonhayati (abiotik).
Fenomena meningkatnya populasi ulat
bulu, faktor hayatinya disebabkan berkurangnya pemangsa alaminya, seperti
burung, kelelawar, dan semut rangrang, dan musuh alaminya, misalnya parasitoid.
Berkurangnya pemangsa alami dan
peningkatan ulat bulu juga dipengaruhi unsur nonhayati. Perubahan iklim global
menjadi faktor utama. Akibat adanya perubahan iklim, terjadi perubahan suhu dan
kelembaban udara. Semua makhluk hidup punya kemampuan adaptasi terhadap
perubahan alam yang terjadi. [6]
Penyebab wabah
ulat bulu berpusat pada perubahan ekosistem. Pemangsa alami ulat bulu berkurang
dan perubahan iklim. Pemangsa alami berkurang sehingga menyebabkan rantai makanan
rusak atau putus sama sekali sehingga populasi ulat bulu tidak ada yang
mengendalikannya. Seharusnya pemangsa alami ulat bulu menjadi pengendali
populasi ulat bulu. Perubahan iklim yang menyebabkan perubahan suhu dan
kelembaban udara juga turut andil
meningkatkan populasi ulat bulu.
Hal yang senada
disampaikan oleh Peneliti Serangga Bidang Parasit LIPI, Rosichon Ubaidillah
(2011) mengatakan,
Dalam
teori entomologi (ilmu yang mempelajari serangga), dinamika populasi
dipengaruhi beberapa faktor yaitu abiotik dan biotik
Faktor biotik adalah adanya musuh alam dari ulat bulu dan ngengat, yakni berupa predator, parasit dan patogen atau agen biologis yang menyebabkan penyakit pada inangnya. Sedangkan faktor abiotik adalah musuh yang bukan berasal dari alam.[7]
Faktor biotik adalah adanya musuh alam dari ulat bulu dan ngengat, yakni berupa predator, parasit dan patogen atau agen biologis yang menyebabkan penyakit pada inangnya. Sedangkan faktor abiotik adalah musuh yang bukan berasal dari alam.[7]
Perubahan
ekosistem hayati dan nonhayati menjadi penyebab wabah ulat bulu. Populasi
pemangsa alami ulat bulu yang berkurang menyebabkan ulat bulu tidak ada yang
memakannya. Selain itu perubahan iklim global juga ikut berperan dalam
menyebabkan wabah ulat bulu. Walaupun semua makhluk hidup mempunyai kemampuan
untuk beradaptasi dengan perubahan suhu dan kelembaban udara, tetapi perubahan
yang ekstrim menyebabkan beberapa makhluk hidup tidak mampu beradaptasi. Pemakan
alami ulat bulu mencari tempat yang jauh, sementara ulat bulu mencari tempat
baru yang dekat dengan pemukiman penduduk.
”Kesimpulan
sementara tim peneliti Kementerian Pertanian, ulat itu bermigrasi dari hutan
sekitar Gunung Bromo. Migrasi terjadi karena ketidakseimbangan ekosistem akibat
letusan Bromo sejak akhir tahun lalu yang sampai hari ini belum reda”.[8]
Suputa, dosen
jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian UGM, memaparkan dugaan
awal penyebab terjadinya serangan dikarenakan silica yang dihasilkan aktivitas
gunung api, vegetasi hutan yang semakin langka, berkurangnya jumlah burung
pemakan serangga, dan resistensi serta resurgensi hama terhadap zat kimia.[9]
Letusan Gunung
Bromo menyebabkan ekosistem yang ada di sekitarnya rusak berat. Pohon-pohon
besar yang tumbuh di lereng Bromo sebagai tempat berkembang biak ulat bulu dan
para pemangsa alaminya menjadi rusak. Akibatnya ulat bulu mencari tempat yang
cocok untuk berkembang biak, termasuk pohon-pohon di pemukiman penduduk.
Sementara itu, para pemangsa alami ulat mencari tempat berkembang biak yang
jauh dari pemukiman manusia. Selain itu, pemakaian zat kimia untuk membasmi
ulat bulu menyebabkan ulat bulu menjadi kebal terhadap zat kimia tersebut.
Ledakan jumlah
organisme (ulat bulu) dapat dipicu oleh dua faktor, yakni keterkaitan
ketersediaan nutrisi (food quality) bagi hama dan faktor
lingkungan seperti faktor predator, parasit, dan suhu lingkungan. [10]
Ekosistem yang
rusak menyebabkan ketersediaan makanan bagi ulat bulu hilang, sehingga ulat
bulu mencari tempat-tempat yang menyediakan pasokan makanan yang lebih banyak. Kerusakan
ekosistem bisa karena bencana alam seperti banjir, letusan gunung berapi, tanah
longsor, dan sebagainya. Hal yang lebih menyedihkan adalah kerusakan ekosistem karena
ulah manusia sendiri, yaitu dengan kegiatan perusakan hutan sebagai tempat
berkembang biak ulat bulu dan predatornya. Kegiatan penebangan kayu dan
pembukaan lahan baru yang tidak memperhatikan keseimbangan alam merupakan hal
terparah yang tanpa disadari telah membuat ekosistem tempat berkembang biak
ulat bulu dan predatornya rusak.
Kepala KP4 UGM,
Agus Cahyono (2011) menyampaikan, ”Faktor meningkatnya populasi ulat bulu
disebabkan adanya perubahan iklim, rantai makanan yang rusak dengan banyak
predator yang hilang seperti burung dan semut ngangrang akibat perburuan dan
diperjualbelikan”.[11]
Perubahan iklim
dan kerusakan rantai makanan merupakan masalah yang banyak disebutkan sebagai
faktor penyebab wabah ulat bulu. Selain perubahan iklim, penggunaan pestisida
berlebihan dalam membasmi hama juga menyebabkan musuh alami ulat bulu seperti serangga
kecil tidak mampu bertahan hidup, sehingga tidak ada yang mengontrol populasi ulat
bulu, akibatnya jumlah ulat bulu semakin banyak dan berkembang biak dengan tidak
terkendali. Seharusnya, musuh alami ulat bulu memberikan parasit pada telur
ulat yang menyebabkan dari ribuan telur ulat hanya beberapa telur saja yang
berhasil jadi ulat. Karena musuh alami ulat menghilang maka jumlah telur yang
menetas semakin banyak.
Pohon-pohon di
sekitar pemukiman penduduk sebagai tempat hinggap burung-burung tidak ada atau semakin sedikit, sehingga
burung-burung terbang mencari tempat lain yang banyak pohonnya. Selain itu
burung-burung banyak musnah karena diburu manusia untuk diperjualbelikan. Lahan-lahan
kosong yang merupakan tempat pohon-pohon tumbuh sekarang pohon tersebut
ditebang, diganti gedung-gedung dan pagar beton. Padahal pohon-pohon tersebut
menjadi tempat tinggal beberapa hewan, akibatnya sedikit demi sedikit burung
dan binatang lain terusir dan tidak memiliki tempat tinggal lagi.
Hari Sutrisno
(2011), Peneliti LIPI, menyatakan,
Makin
mengganasnya ulat bulu berawal di Probolinggo, Jatim, hampir sebulan terakhir,
ini disebabkan oleh banyak faktor, misalnya dipengaruhi oleh faktor lingkungan,
seperti kelembaban, juga faktor biologi. Tapi yang paling utama adalah anomali
iklim yang ada.
Banyak
rusaknya habitat beberapa predator, seperti keberadaan kelelawar, salah satu
predator yang biasa memakan ulat-ulat itu yang sudah menurun drastis. Ini salah
satu faktor pendorong tumbuhnya ulat bulu. Sekarang ini bahkan kita sulit
menemukan semut merah, kalau pun ada itu sudah dicari manusia untuk makanan
burung,[12]
Manusia harus
bijaksana memulai menjaga alam sekitar dari menjaga alam tempat tinggalnya agar
ekosistem tetap terjaga, mulai saja dari halaman rumah masing-masing.
Banyak menanam pohon langsung di tanah agar hasilnya bisa optimal, bukan hanya
sekadar penghijauan tetapi juga sebagai resapan air dan tempat hidup
hewan-hewan yang berguna bagi manusia, seperti burung, kelelawar, semut dan
predator-predator ulat bulu lainnya.
Chairman
ProFauna Indonesia, Rosek Nursahid, menyatakan, ”Populasi predator pemakan ulat
seperti Burung Prenjak, Jalak dan Cinenen berkurang cukup signifikan hingga
mencapai 80 persen dari populasi sebelumnya”.[13]
Keberadaan
predator pemakan ulat bulu sangat penting untuk menjaga kestabilan populasi
ulat bulu. Sekarang ini sudah 80 persen populasi predator tersebut berkurang. Hal
ini disebabkan oleh ulah manusia yang terus memburunya demi kepentingan ekomoni
semata tanpa memperhatikan akibat yang ditimbulkannya yang merusak keseimbangan
alam.
Jadi jelaslah
bahwa faktor penyebab wabah ulat bulu adalah kerusakan ekosistem tempat berkembang
biak ulat bulu dan para pemangsa alaminya. Kerusakan ekosistem tersebut
disebabkan oleh bencana alam dan perbuatan manusia sendiri.
2.
Dampak
wabah ulat bulu
Hari Sutrisno
(2011), Peneliti LIPI, menyatakan,
Memang
ulat bulu ini tidak mematikan, meski berdampak langsung ke kulit yakni
menjadikan gatal. Jenis-jeis ulat ini memiliki ujung bulu sangat tajam,
sehingga akan sangat peka menyentuh kulit manusia yang halus. Ansisipasinya bisa dioles kapur sirih atau
larutan alkalin.[14]
Ulat bulu yang
berkembang pesat berubah menjadi wabah. Ulat bulu tidak berbahaya bagi manusia,
kemungkinan besar bila mengenai kulit yang peka akan menyebabkan gatal. Tidak
semua kulit manusia tahan terhadap ulat bulu, kulit yang tahan tidak akan
menjadi masalah, tetapi bagi kulit-kulit yang peka terhadap ulat bulu, maka
itulah yang akan menjadi dampak timbul gatal-gatal atau alergi pada kulit. Walaupun
ulat bulu hanya menyebabkan gatal-gatal, tetapi jika ulat bulu jumlahnya ribuan
berada di sekitar rumah warga, masuk ke rumah, berada di dinding, jendela,
pintu, lantai sampai ke atap rumah, tentunya hal ini akan menimbulkan keresahan
bagi warga.
Kemenristek (2011) menyatakan:
Racun
pada ulat bulu yang paling menakutkan ditemukan pada genus Lonomia yang hidup
di Amerika Selatan. Ini merupakan antikoagulan yang sangat kuat sehingga
menyebabkan pendarahan pada manusia, bahkan hingga meninggal. Bahan kimia itu
kini sedang diselidiki oleh ahli medis. Meskipun begitu, sebagian besar bulu
itu hanya menyebabkan iritasi ringan atau penyakit kulit.[15]
Ulat
bulu yang mewabah di Probolinggo adalah jenis ulat Lymantria Marginanta yang hanya menyebabkan gatal-gatal apabila
tesentuh kulit.[16]
Berbeda dengan ulat bulu jenis Lonomia yang ditemukan di Amerika Selatan. Jenis
ulat Lonomia ini bisa menyebabkan
pendarahan dan bahkan sangat fatal sampai meninggal dunia. Lembaga berwenang
harus memberikan informasi yang benar kepada masyarakat tentang ulat bulu
tersebut agar tidak meresahkan.
Fadil Abidin (2011) mengatakan,
Ulat
bulu yang berkembang pesat berubah menjadi wabah. Ulat bulu memang tidak
membahayakan manusia, kemungkinan besar jika terkena kulit hanya menyebabkan
gatal atau alergi. Tapi jika ulat bulu dalam jumlah banyak menyerang
rumah-rumah warga, menempel di dinding, lantai hingga plafon rumah, tentu
meresahkan juga. Di beberapa daerah ulat bulu menyerang pohon mangga dan jambu
sehingga daun-daunnya habis. Petani mangga dan jambu pun mengalami gagal panen.[17]
Ulat bulu
selain menyebabkan gatal atau alergi pada jenis kulit tertentu, juga meresahkan
masyarakat. Betapa tidak, lingkungan rumah yang biasanya bersih dan rindang
menjadi penuh sesak oleh ulat bulu, apalagi bila ulat bulu tersebut sampai
masuk ke dalam rumah. Belum lagi dampak bagi para petani mangga dan jamu yang gagal
panen karena daun-daun pohonnya habis dimakan ulat bulu. Hal ini tentu akan
berdampak pada penghasilan masyarakat menjadi menurun atau gagal sama sekali.
Berdasarkan
uraian tersebut, walaupun ulat bulu tidak membahayakan manusia, tetapi tetap
harus ditanggulangi karena menyebabkan gatal atau penyakit kulit, keresahan
warga, dan gagal panen.
3.
Langkah-langkah
mengatasi wabah ulat bulu
Wabah ulat bulu
memang tidak berbahaya tetapi tetap harus dicari cara penanggulangannya agar
tidak menjadi semaki parah. Suara Pembaharuan (2011) memberitakan bahwa
serangan ulat bulu memberi kesan bahwa ketidakseimbangan ekosistem sedang
berlangsung, dan akan menjadi semakin parah apabila tidak ada upaya konkret
yang dilakukan untuk memperbaiki hubungan antara manusia dan lingkungannya. Ada
tiga upaya yang harus dilakukan agar keseimbangan ekosistem tetap terjaga,
yaitu:
a.
Pemerintah
harus menindak tegas berbagai upaya perusakan alam.
b.
Meminimalisasi
penggunaan insektisida atau bahan kimia pembunuh hama.
c.
Penelitian
di bidang pertanian harus terus dikembangkan.[18]
Upaya
penanggulangan ulat bulu harus terus dilakukan oleh semua pihak. Setidaknya ada
tiga pihak yang harus bekerja sama dalam membasmi wabah ulat bulu, yaitu
pemerintah, warga, dan lembaga-lembaga penelitian atau perguruan tinggi.
Pemerintah dengan segala otoritasnya sebagai pihak yang paling bertanggung
jawab dalam hal ini harus melakukan tindakan tegas untuk menghentikan semua
perbuatan perusakan alam oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Warga
khususnya petani harus berhati-hati dan selektif memilih insektisida untuk
membasmi hama. Penggunaan insektisida yang berlebihan atau insektisida dengan
kadar zat kimia tinggi akan memicu hama tahan terhadap insektisida tersebut
atau bahkan memunculkan hama baru, dan mungkin akan menimbulkan kerusakan
ekosistem. Lembaga perguruan tinggi dan lembaga penelitian lainnya dengan
sumber daya yang dimilikinya harus terjun ke lapangan untuk menyelidiki segala
faktor yang berkaitan dengan ulat bulu untuk mencari jalan keluarnya dan
merekomendasikan hasil penelitian tersebut kepada pemerintah dan masyarakat
untuk dilaksanakan agar di masa mendatang wabah ulat bulu tidak terjadi lagi.
Kalaupun wabah ulat bulu kembali terjadi, pemerintah dan warga telah mempunyai
antisipai yang aman untuk menghadapinya.
Hari Sutrisno
(2011), Peneliti LIPI, menyatakan, ”Jika masyarakat menemukan adanya ulat di
pohon, segera kumpulkan dan segera kubur atau dimusnahkan”.[19]
Langkah yang
paling mudah dan sederhana adalah dengan cara mengumpulkan ulat bulu kemudian
mengubur atau membakarnya. Dengan demikian populasi ulat bulu akan berkurang.
Langkah aman ini harus disosialisasikan kepada warga, jangan sampai warga
memusnahkan ulat bulu dengan menggunakan insektisida yang berbahaya.
Hidayat Soesilo
Hadi (2011), Kepala Laboratorium Entomologi UGM, menjelaskan,
Tiga
hal yang harus diperhatikan untuk menangani kasus serangan hama, yaitu
Regulasi, Limitasi, dan Stabilitas (R-L-S). Dalam kasus ini, Regulasi
dijelaskan sebagai proses munculnya hama pada suatu ekosistem, disebabkan oleh Density
Independent Regulation dan Density Dependent Regulation,
sementara Limitasi dijelaskan sebagai proses pembatasan hama, serta Stabilitas
sebagai keadaan seimbang dari jumlah organisme dalam suatu ekosistem.[20]
Ada tiga hal
yang harus diperhatikan dalam penanganan wabah ulat bulu, yaitu regulasi,
limitasi, dan stabilitas (RLS). Pada tahap regulasi, ulat bulu mulai muncul
pada suatu ekosistem. Hal yang harus dilakukan pada tahap ini adalah berusaha
mengendalikan populasi ulat bulu agar tumbuh dengan normal. Langkah yang
dilakukan dengan menjaga rantai makanan yang ada jangan sampai rusak. Pada
tahap kedua, limitasi, pertumbuhan ulat bulu dibatasi jumlahnya sehingga tidak
meledak menjadi wabah. Langkah yang dilakukan dengan membasmi ulat bulu
menggunakan cara-cara yang tidak merusak atau membahayakan ekosistem, bisa juga
menggunakan insektisida berdaya rendah atau memusnahkannya dengan cara manual
seperti dikubur atau dibakar. Pada tahap ketiga, stabilitas, populasi ulat bulu
dan populasi predatornya harus dijaga keseimbangannya. Langkah yang dilakukan
bisa dengan menanam pohon, memelihara burung, tidak melakukan perburuan burung,
tidak merusak hutang, dan langkah-langkah preventif lainnya.
Tudji Martudji
(2011) melaporkan,
Pihak
ITS mengemukakan, wabah ulat bulu dapat muncul karena makin berkurangnya
pepohonan yang menjadi sumber makanan utama bagi ulat. Oleh karena itu,
masyarakat harus menambah pohon di lingkungan sekitar mereka
masing-masing. Ini akan berdampak positif bagi lingkungan. ITS juga
melakukan pelepasan ratusan burung kutilang dan peking. Kalau banyak
burung, akan banyak ulat yang dimakan. Hal itu juga bisa membantu memperbaiki
keseimbangan alam. Di samping melepaskan burung, ITS juga melakukan
penanaman pohon jenis akar tunjang di areal seluas 20 hektar.[21]
ITS
sebagai salah satu lembaga pendidikan yang punya kewajiban untuk mengabdi pada
masyarakat telah melakukan langkah nyata dalam menanggulangi wabah ulat bulu,
setidaknya untuk antisipasi agar tidak terjadi wabah ulat bulu di masa yang
akan datang. Penanaman pohon dan pelepasan burung akan membantu memperbaiki
keseimbangan ekosistem. Langkah nyata ini harus diikuti oleh semua warga yang
dimulai dari menanam pohon di sekitar rumahnya, atau lahan-lahan tandus
dilakukan penanaman kembali.
Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian RI (2011)
memberikan petunjuk teknis pengendalian ulat bulu sebagai berikut:
a. Memantau dan mengidentifikasi jenis hama dan kondisi lingkungan.
b. Melakukan pengendalian secara mekanis dengan cara mengumpulkan
dan memusnahkan ulat.
c. Memasang lampu perangkat (light trap) untuk membunuh
ngengat.
d. Mengumpulkan kepompong dan memasukannya ke dalam botol plastik
yang diberi lubang.
e. Memelihara dan melestarikan musuh alami ulat bulu.
f. Menggunakan insektisida hayati berupa jamur, virus, bakteri, dan
nematode.
g. Memasang pembatas (burrier) pada batang pohon mangga.
h. Jika kondisi populasi ulat bulu sangat mengkhawatirkan dapat
digunakan insektisida alami yang relatif ramah lingkungan.
i. Pada kondisi kritis, dapat digunakan insektisida kimia sintetis
yang berdaya racun rendah berlabel hijau.
j. Jangan menggunakan insektisida kimia sistetis untuk tindakan
pencegahan.[22]
Petunjuk
teknis pengendalian ulat bulu yang dikeluarkan oleh Balitbang Kementan RI tersebut mungkin belum
disosialisasikan kepada masyarakat, sehingga banyak warga yang tidak
mengetahuinya. Hal ini menyebabkan keresahan, kepanikan, dan ketakutan
masyarakat ketika menghadapi wabah ulat bulu. Masyarakat harus diberi bekal
pengetahuan tentang langkah-langkah yang harus dilakukan apabila sewaktu-waktu
terjadi ledakan populasi ulat bulu di daerahnya.
C.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
Faktor penyebab
wabah ulat bulu adalah ketidakseimbangan ekosistem tempat berkembang biak ulat
bulu dan para pemangsa alaminya. Kerusakan ekosistem tersebut disebabkan oleh
perubahan iklim, bencana alam, dan perbuatan manusia sendiri.
Ulat bulu tidak
membahayakan manusia, tetapi tetap harus segera ditanggulangi karena
menyebabkan gatal pada jenis kulit tertentu atau penyakit kulit, keresahan dan
ketakutan warga, dan gagal panen bagi petani perkebunan.
Langkah-langkah
penanggulangan wabah ulat bulu antara lain: semua pihak harus melakukan upaya
konkret untuk memperbaiki hubungan antara manusia dan lingkungannya, tidak
menggunakan insektisida berkadar kimia tinggi untuk membasmi ulat bulu, membasmi
ulat bulu dengan cara dikubur atau dibakar, dan mengikuti petunjuk teknis
penanggulangan ulat bulu yang dikeluarkan oleh Balitbang Kementan Republik
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Antaranews. 2011. Wabah Ulat Bulu Akibat Populasi
Predator Berkurang. [Online] Available: http://www.antaranews.com
[2011, Desember 9]
Balairungpress. 2011. Bukan Wabah Ulat Bulu. [Online] Available:
http://www.balairungpress.com
[2011, Desember 5]
Balitbang Kementan RI. 2011. Petunjuk Teknis Pengendalian Ulat
Bulu. [Online] Available: http://www.litbang.deptan.go.id
[2011, Desember 8]
Detiknews. 2011. Peneliti LIPI Indikasikan Siklus Ulat Bulu
Lebih Cepat. [Online] Available: http://www.detiknews.com
[2011, Desember 10]
Dinas Komunikasi dan Informatika Prov. Jatim. 2011. Kementan
Teliti Penyebab Wabah Ulat Bulu di Probolinggo. [Online] Available: http://www.jatimprov.go.id
[2001, Desember 5]
Fadil Abidin. 2011. Wabah Ulat Bulu dan Rusaknya Ekosistem.
[Online] Available: http://www.analisadaily.com
[2011, Desember 12]
Harian Kompas. 2011. Tujuh Cara Dokter Amerika Mengatasi Wabah
Ulat Bulu. [Online] Available: http://kesehatan.kompasiana.com
[2011, Desember 5]
Haryono. 2011. Penyebab Ulat Bulu Sudah Terdeteksi. [Online]
Available: http://www.kompas.com
[2011, Desember 5]
Kemenristek RI. 2011. Bahaya Wabah Ulat Bulu. [Online]
Available: http://www.ristek.go.id
[2011, Desember 8]
Kementan RI. 2011. Wabah Ulat Bulu Bakal Meluas. [Online]
Available: http://iwandahnial.wordpress.com
[2011, Desember 5]
KP4 UGM. 2011. Kecuali Probolinggo, Serangan Ulat Bulu di Tujuh
Daerah dalam Batas Ambang Normal. [Online] Available: http://www.ugm.ac.id [2011, Desember 6]
LPPM IPB. 2011.Tergolong Ulu Bulu Jenis Baru. [Online]
Available: http://lppm.ipb.ac.id
[2011, Desember 5]
Suara Merdeka. 2011. Wabah Ulat: Teroris Bersenjat Bulu. [Online]
Available: http://suaramerdeka.com
[2011, Desember 8]
Suara Pembaharuan. 2011. Ulat Bulu dan Tantangan Penelitian.
[Online] Available: http://www.suarapembaruan.com [2011, Desember 5]
Tudji Martudji . 2011. ITS Cari Cara Atasi Jutaan Ulat Bulu.
[Online] Available: http://jatim.vivanews.com
[2011, Desember 6]
[1]
Fadil Abidin.
2011. Wabah Ulat Bulu dan Rusaknya Ekosistem. [Online] Available:
http://www.analisadaily.com [2011, Desember 12]
[2] Harian Kompas.
2011. Tujuh Cara Dokter Amerika Mengatasi Wabah Ulat Bulu. [Online]
Available: http://kesehatan.kompasiana.com [2011,
Desember 5]
[3]LPPM IPB. 2011.Tergolong
Ulu Bulu Jenis Baru. [Online] Available: http://lppm.ipb.ac.id [2011,
Desember 5]
[4] Dinas
Komunikasi dan Informatika Prov. Jatim. 2011. Kementan Teliti Penyebab Wabah
Ulat Bulu di Probolinggo. [Online] Available: http://www.jatimprov.go.id [2011, Desember 5]
[6] Haryono. 2011.
Penyebab Ulat Bulu Sudah Terdeteksi. [Online] Available: http://www.kompas.com [2011, Desember 5]
[7] Detiknews.
2011. Peneliti LIPI Indikasikan Siklus Ulat Bulu Lebih Cepat. [Online]
Available: http://www.detiknews.com [2011,
Desember 10]
[8] Kementerian
Pertanian RI. 2011. Wabah Ulat Bulu Bakal Meluas. [Online]
Available: http://iwandahnial.wordpress.com [2011,
Desember 5]
[9]Balairungpress.
2011. Bukan Wabah Ulat Bulu. Available: http://www.balairungpress.com [2011,
Desember 5]
[11] KP4 UGM. 2011.
Kecuali Probolinggo, Serangan Ulat Bulu di Tujuh Daerah dalam Batas Ambang
Normal. [Online] Available: http://www.ugm.ac.id [2011,
Desember 6]
[12] Suara Merdeka.
2011. Wabah Ulat: Teroris Bersenjat Bulu. [Online] Available: http://suaramerdeka.com [2011,
Desember 8]
[13] Antaranews.
2011. Wabah Ulat Bulu Akibat Populasi Predator Berkurang. [Online]
Available: http://www.antaranews.com [2011, Desember 9]
[15] Kemenristek
RI. 2011. Bahasa Wabah Ulat Bulu. [Online] Available: http://www.ristek.go.id [2011,
Desember 8]
[18] Suara
Pembaharuan. 2011. Ulat Bulu dan Tantangan Penelitian. [Online]
Available: http://www.suarapembaruan.com [2011, Desember 5]
[21] Tudji Martudji . 2011. ITS Cari Cara Atasi Jutaan Ulat Bulu.
[Online] Available: http://jatim.vivanews.com [2011, Desember 6]
[22] Balitbang Kementan RI. 2011. Petunjuk Teknis Pengendalian Ulat
Bulu. [Online] Available: http://www.litbang.deptan.go.id [2011, Desember 8]
No comments:
Post a Comment