Tafsir Ayat dan Hadits Tarbawi
(Q. S, Adz-Dzariyat: 56-58 & Hadits Pergaulan Suami Istri)
Oleh
Nama :
Mukhamad Fathoni
NIM : 2110104109
Program Studi : Ilmu
Pendidikan Islam
Konsentrasi : Pendidikan Agama Islam
Mata Kuliah : Tafsir Hadits Tarbawi
Dosen Pengampu: Dr. Edyson Saifullah, M.A.
Program Pascasarjana IAIN Raden Fatah
Palembang
2011
Al-Qur’an Surat Adz-Dzariyat Ayat 56-58 dan Hadits Tarbawi
A.
Al-Qur’an surat Adz-Dzariyat ayat 56-58
Rutinitas hidup
yang dijalani terkadang menjebak manusia yang membuatnya berpikir bahwa hidup
ini ibarat putaran atau siklus tiada henti. Seakan-akan hidup ini hanya satu
kesamaan dengan yang lain. Maksudnya ketika lahir, kemudian sekolah, menikah,
punya anak, tua kemudian menunggu ajal. Setidaknya seperti itu yang selama ini
dijalani.
Sulit sekali bagi manusia jika hanya mengandalkan logika untuk mencari jawaban apa sebenarnya ini kehidupan manusia. Namun jawaban yang tepat dapat ditemukan dalam sebuah kitab yang memang dibuat oleh si perancang kehidupan ini sekaligus pemiliknya. Jawaban dapat diketemukan jika manusia menyadari siapa yang menciptakan kehidupan dunia dan seisinya. Allah SWT dalam Adz-Dzariat .ayat 56-59 berfirman:
Sulit sekali bagi manusia jika hanya mengandalkan logika untuk mencari jawaban apa sebenarnya ini kehidupan manusia. Namun jawaban yang tepat dapat ditemukan dalam sebuah kitab yang memang dibuat oleh si perancang kehidupan ini sekaligus pemiliknya. Jawaban dapat diketemukan jika manusia menyadari siapa yang menciptakan kehidupan dunia dan seisinya. Allah SWT dalam Adz-Dzariat .ayat 56-59 berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالاِنسَ إِلا
لِيَعْبُدُونِ ﴿٥٦﴾ مَا أُرِيدُ مِنْهُم
مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ ﴿٥٧﴾ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو
الْقُوَّةِ الْمَتِينُ ﴿٥٨﴾
Kosakata (Atabik Ali, 1998):
خلق : menciptakan رزق : rezeki
الجنّ : jin يطعمون : memberi makan
الانس : manusia القوة :
Kekuatan
يعبدون : menyembah المتين : Maha Kokoh
أريد : menghendaki
Artinya: 56. Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku.
57. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku
tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.
58. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai
Kekuatan lagi Sangat Kokoh.
Tafsir: 56. (Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku) pengertian
dalam ayat ini sama sekali tidak bertentangan dengan kenyataan, bahwa
orang-orang kafir tidak menyembah-Nya. Karena sesungguhnya tujuan dari ayat ini
tidaklah memastikan keberadaannya. Perihalnya sama saja dengan pengertian yang
terdapat di dalam perkataanmu, "Aku runcingkan pena ini supaya aku dapat
menulis dengannya." Dan kenyataannya terkadang kamu tidak menggunakannya.
57. (Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka)
untuk-Ku dan untuk mereka serta untuk selain mereka (dan Aku tidak menghendaki
supaya mereka memberi Aku makan) baik dari diri mereka atau pun dari selain
mereka.
58. (Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai
Kekuatan lagi Sangat Kokoh) yakni Sangat Perkasa.
Shihab (2003:355),
Ayat di atas (pen: ayat 56) menggunakan bentuk persona
pertama (Aku) setelah sebelumnya menggunakan persona ketiga (Dia/Allah).
Ini bukan saja bertujuan menekankan pesan yang dikandungnya tetapi juga untuk
mengisyaratkan bahwa perbuatan-perbuatan Allah melibatkan malaikat atau
sebab-sebab lainnya. Penciptaan, pengutusan Rasul, turunnya siksa, rezeki yang
dibagikan-Nya melibatkan malaikat dan sebab-sebab lainnya, sedang di sini
karena penekanannya adalah beribadah kepada-Nya semata-mata, maka redaksi yang
digunakan berbentuk tunggal dan tertuju kepada-Nya semata-mata tanpa memberi
kesan adanya keterlibatan selain Allah Swt.
Maksud ayat tersebut adalah Allah menciptakan manusia dengan
tujuan untuk menyuruh mereka beribadah kepada-Nya, bukan karena Allah butuh
kepada mereka. Ayat tersebut dengan gamblang telah menjelaskan
bahwa Allah Swt dengan menghidupkan manusia di dunia ini agar mengabdi /
beribadah kepada-Nya. Bukan sekedar untuk hidup kemudian menghabiskan jatah
umur lalu mati.
Shihab
(2003:356),
Ibadah
terdiri dari ibadah murni (mahdhah) dan ibadah tidak murni (ghairu
mahdhah). Ibadah mahdhah adalah ibadah yang telah ditentukan oleh
Allah, bentuk, kadar, atau waktunya, seperti shalat, zakat, puasa dan haji.
Ibadah ghairu mahdhah adalah segala aktivitas lahir dan batin
manusia yang dimaksudkannya untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Berdasarkan
ayat tersebut, dengan mudah manusia bisa mendapat pencerahan bahwa eksistensi
manusia di dunia adalah untuk melaksanakan ibadah / menyembah kepada Allah Swt
dan tentu saja semua yang berlaku bagi manusia selama ini bukan sesuatu yang
tidak ada artinya. Sekecil apapun perbuatan itu. Kehadiran manusia ke bumi
melalui proses kelahiran, sedangkan kematian sebagai pertanda habisnya
kesempatan hidup di dunia dan selanjutnya kembali menghadap Allah untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya semasa hidup di dunia.
Syaikul Islam,
Ibnu Taimiyah (dalam Nur Hasanah, 2002), memandang bahwa makna ibadah lebih
dalam dan luas. Makna ibadah sampai pada unsur yang rumit sekalipun. Unsur yang
sangat penting di dalam mewujudkan ibadah ialah sebagaimana yang telah
diperintahkan oleh Allah SWT yaitu unsur cinta. Tanpa unsur cinta tersebut,
mustahil tujuan pokok diciptakan manusia, para rasul diutus, diturunkan
kitab-kitab, ialah hanya untuk berbadah kepada Allah SWT dapat tercapai.
Pada ayat
57, Allah menegaskan bahwa Allah
sekali-kali tidak pernah membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Semua bentuk
ibadah yang disyariatkan akan dikembalikan balasannya kepada makhluk-Nya. Allah
menciptakan manusia, dan Allah juga yang memberikan tuntunan kepada manusia
agar memperoleh kebahagiaan di sisi-Nya
kembali. Allah menghendaki agar manusia hidup bahagia di dunia dan akhirat. Setelah
manusia dilahirkan ke dunia, manusia diberi keleluasaan untuk memilih. Pilihannya
itulah yang menentukan hasil akhir dari perjalanan hidup manusia sampai di Hari
Akhir nanti.
Ayat 58, Allah
memberikan ultimatum bahwa hanya Allah
yang Maha Perkasa. Semua makhluk berada di bawah kekuasaan-Nya. Allah yang
memberikan rezeki, Allah tidak membutuhkan rezeki.
B.
Hadits Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad SAW bersabda:
َوَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ
اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم (اَمَّا لَوْ أَنَّ أَحَدُهُمْ حِيْنَ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ : بِسْمِ اَللَّهِ
. اَللَّهُمَّ جَنِّبْنِى اَلشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا; ثم
قَدر بَيْنَهُمَا فِي ذَلِكَ او قضى ولد, لَمْ يَضُرَّهُ اَلشَّيْطَانُ
أَبَدًا"(
Kosakata (Atabik
Ali, 1998):
أحدهم : salah satu di antara
حين : ingin قدر :
menghendaki
يأتى :
mendatangi (menggauli) قضى :
menghasilkan
أهله :
istrinya ولد : anak
جنّب :
menjauhkan يضر : membahayakan
الشيطان :
syaitan أبدا :
selamanya
Artinya: Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Seandainya salah
seorang di antara kamu ingin menggauli istrinya lalu membaca doa: (artinya =
Dengan nama Allah, Ya Allah jauhkanlah setan dari kami dan jauhkanlah setan
dari apa yang engkau anugerahkan pada kami), maka jika ditakdirkan dari
pertemuan keduanya itu menghasilkan anak, setan tidak akan mengganggunya
selamanya."
Shihab (2003:356), ”Hubungan seks pun dapat menjadi ibadah, jika
itu dilakukan sesuai tuntunan agama”.
Salah satu nikmat yang diberikan oleh Allah kepada orang-orang
yang telah menikah adalah surga dunia dalam hubungan suami istri. Dalam agama
Islam, hubungan suami istri hukumnya haram bila dilakukan oleh pasangan yang
belum mengikat diri dalam akad pernikahan. Akan tetapi setelah menikah,
hubungan suami istri hukumnya berubah menjadi wajib. Bahkan ada doa hubungan
suami istri yang hendaknya dilafadzkan sebelum suami istri berhubungan.
Rasulullah SAW telah mengajarkan doa hubungan suami istri dalam
haditsnya. Salah satunya adalah hadits di atas. Ada beberapa hikmah yang dapat
dipetik dari sunah Nabi mengucapkan doa tersebut, yaitu:
1.
Mengingat suami istri agar selalu
bersyukur karena telah dianugerahkan pasangan pelengkap hidupnya. Bersama
pasangan hidupnya ia dapat memenuhi kebutuhan batinnya yang bernilai ibadah.
2.
Meluruskan tujuan utama sebuah pernikahan,
yaitu untuk melahirkan generasi baru yang memperbanyak hamba Allah yang
menegakkan kalimat syahadat di muka bumi. Pernikahan bukan sekedar cinta buta
atau guna memuaskan nafsu birahi semata.
3.
Mengingat suami istri bahwa syaitan
adalah musuh utama bagi manusia. Syaitan tidak berhenti menggoda dan senantiasa
menjerumuskan manusia pada jalan yang sesat. Bahkan sejak dalam proses
kelahiran anak cucu Adam.
4.
Hanya kepada Allah semata
menyerahkan segala hasil dari usaha yang telah dilakukan. Keberhasilan
pertemuan sel sperma dan sel ovum tidak lepas dari kehendak-Nya. Sekuat apapun
keinginan untuk memiliki anak atau menolak kehadiran anak, hanya Allah yang mempunyai kuasa menentukan
hasilnya.
5.
Kembali mengingatkan bahwa suami
istri harus selalu mengharap ridla-Nya dalam berbagai kegiatan. Bahkan saat
berhubungan suami istri. Karena ridla-nya, bukan hanya nikmat dunia yang
didapatkan, pahala darinya kelak akan diraih pula.
6.
Anak merupakan titipan Allah,
amanah dari-Nya yang harus dirawat dan dididik sebaik-baiknya. Karena titipan,
Allah bisa saja mengambilnya sewaktu-waktu atau menitipkan yang keadaannya istimewa, berbeda dari
anak-anak lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
al-Karim.
Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany. 2008. Bulughul Maram min
Adillatil Ahkam. Bandung: Pustaka Alhidayah.
Ali, Atabik. 1998. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia.
Yogyakarta: Multi Karya Grafika.
Hasanah, Nur, Labib MZ. 2002. Hakekat Ibadah. Surabaya:
Bintang Usaha Jaya.
Shihab, M. Quraish. 2003. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera.
No comments:
Post a Comment