Ahlan Wasahlan

Assalamu'alaikum Warohmatullohi Wabarokatuhu
!!!SELAMAT DATANG!!!
"Tuhan Selalu Memberikan yang Terbaik untuk Hamba-Nya."


Wednesday, May 1, 2024

Terjemah Kitab Kifayatul Awam



بسم الله الرحمن الرحيم

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Segala puji kepunyaan Allah yang sendiri (esa) dengan perbuatan menjadikan (menciptakan).

Dan semoga rahmat dan keselamatan tercurahkan kepada junjungan kita Nabi MuhammadSAW yang menjadi hamba paling utama, dan kepada keluarganya, serta para sahabatnya yang mempunyai kebaikan dan petunjuk.

Dan sesudah basmalah, hamdalah, dan shalawat, maka berkatalah seorang hamba yang mengharapkan rahmat Tuhannya Yang Maha Tinggi, yaitu Muhammad bin Syafi’i yang berbangsa Fudhali dan bermazhab Syafi’i. Sebagian teman-teman telah meminta kepadaku untuk menyusun sebuah risalah dalam ilmu tauhid. Maka aku penuhi permintaan tersebut dengan tujuan seperti tujuan orang yang sangat alim Syaikh Sanusi di dalam Taqrirur Barohin (menjelaskan dalil-dalil), akan tetapi saya menambahkan dalil di samping yang telah diberi dalil. Dan saya juga menambahkan penjelasan pada dalilnya, karena saya mengetahui tentang kelemahan kemampuan orang yang meminta ini. Maka hadirlah dengan berkat pujian kepada Allah SWT sebuah risalah yang bermanfaat dan penjelasan yang baik terhadap perkara yang ada di dalamnya. Dan saya menamai risalah ini dengan كِفَايَةُ اْلعَوَامِ فِيْمَا يَجِبُ عَلَيْهِمْ مِنْ عِلْمِ اْلكَلَامِ (kecukupan orang-orang awam dalam perkara yang wajib kepada mereka dari ilmu kalam). Dan hanya kepada Allah SWT, saya memohon agar Dia memberi manfaat dengan risalah ini. Dan Dia-lah yang Maha Mencukupi aku dan sebaik-baik tempat menyerahkan diri.

DALIL IJMALI DAN TAFSHILI

Ketahuilah! Bahwa wajib bagi setiap orang Islam untuk mengetahui 50 akidah. Dan setiap orang Islam juga wajib mengetahui dalil setiap akidah baik secara global (ijmali) maupun terperinci (tafshili).

Berpendapat sebagian ulama bahwa setiap muslim disyaratkan mengetahui dalil (tafshili) terperinci, akan tetapi ulama jumhur menetapkan bahwa cukup dalil global (ijmali) untuk setiap akidah dari 50 akidah ini. Dan dalil terperinci misalnya, jika ditanyakan: ”Apa dalil wujud Allah SWT?”, maka dijawab dengan: ”Keberadaan semua makhluk ini”. Kemudian si penanya bertanya kepada yang ditanya: ”Keberadaan semua makhluk ini menunjukkan wujud Allah SWT dari segi imkannya atau dari segi wujudnya sesudah tidak ada?, maka yang ditanya menjawabnya. Dan apabila yang ditanya tidak menjawabnya tetapi dia hanya berkata kepada penanya: ”Keberadaan sekalian makhluk ini saja”, dan tidak mengetahui dari segi imkannya atau dari segi wujudnya setelah tidak ada, maka dikatakanlah ucapan orang yang ditanya tersebut sebagai dalil global (ijmali). Dan dalil global (ijmali) adalah sudah cukup menurut ulama jumhur.


TAQLID DALAM AKIDAH

Adapun taqlid, yaitu mengetahui 50 akidah dan tidak mengetahui baik dalil global maupun terperinci, maka para ulama berbeda pendapat dalam taqlid. Sebagian ulama berpendapat bahwa taqlid itu tidak mencukupi, dan orang yang taqlid adalah kafir. Dan telah memilih pendapat ini yaitu Ibnu Al-’Arabi dan Sanusi, dan Sanusi dalam Syarhil Kubro telah membahas panjang lebar tentang penolakannya terhadap orang yang mengatakan dengan kecukupan taqlid. Akan tetapi dikatakan bahwa Sanusi kembali dari pendapatnya dan berpendapat dengan kecukupan taqlid, tetapi kami tidak pernah melihar di dalam kitab-kitabnya kecuali pendapat dengan ketidakadaan kecukupan taqlid tersebut.



PENGERTIAN WAJIB, MUSTAHIL, DAN JAIZ

(Pembukaan). Ketahuilah bahwa pemahaman akidah 50 yang akan dibahas itu tergantung pada 3 perkara, yaitu wajib, mustahil, dan jaiz. Maka adapun wajib adalah sesuatu yang tidak didapatkan pada akal akan ketidakadaannya, yaitu akal tidak dapat membenarkan ketidakadaannya, seperti tahayyuz (mengambil tempat) bagi jirim yaitu bahwa jirim akan selalu mengambil seukuran tempat dari tempat yang kosong. Dan jirim itu adalah seperti pohon dan batu, maka misalnya ketika seseorang berkata kepadamu: ”Sesungguhnya pohon itu tidak mengambil tempat dari bumi”, maka akal Anda tidak akan dapat membenarkan yang demikian itu, karena sesungguhnya pengambilan suatu tempat oleh pohon adalah wajib, dalam hal ini akal tidak membenarkan ketidakadaan pengambilan tempat tersebut.

Adapun mustahil adalah sesuatu yang didapatkan pada akal akan keberadaannya, artinya akal tidak membenarkan keberadaan sesuatu tersebut. Maka ketika seseorang berkata: ”Sesungguhnya jirim fulan itu kosong dari bergerak dan diam secara bersamaan”, maka akal Anda tidak akan membenarkan hal tersebut, karena kekosongan jirim dari bergerak dan diam adalah mustahil yang akal tidak membenarkan kejadian dan keberadaan jirim tersebut.

Adapun jaiz adalah sesuatu yang dibenarkan oleh akal akan keberadaannya pada satu waktu dan ketidakadaannya pada waktu yang lain, seperti keberadaan anak untuk Zaid, maka ketika seseorang berkata: ”Sesungguhnya Zaid mempunyai seorang anak”, maka akal Anda membolehkan kebenaran tersebut, dan ketika seseorang berkata: ”Sesungguhnya Zaid tidak mempunyai seorang anak”, maka akal Anda juga membolehkan kebenaran tersebut. Maka keberadaan anak bagi Zaid dan ketidakadaan anak bagi Zaid adalah jaiz yang akal membenarkan keberadaan atau ketidakadaan anak bagi Zaid.

Maka pemahaman terhadap akidah-akidah tergantung pada tiga bagian ini (yaitu wajib, mustahil, dan jaiz), maka ketiga bagian ini menjadi wajib bagi setiap orang mukallaf baik laki-laki maupun perempuan, karena sesungguhnya sesuatu yang tergantung padanya perkara yang wajib, maka sesuatu itu menjadi wajib.

Bahkan Imam Haromain telah berkata: ”Sesungguhnya pemahaman tiga bagian ini adalah akal itu sendiri, maka barang siapa yang tidak mengetahuinya yaitu tidak mengetahui makna wajib, mustahil, dan jaiz, maka orang itu tidak berakal”. Maka ketika dikatakan di sini: ”Qudrat wajib bagi Allah”, maka artinya adalah Qudrat Allah. Akal tidak membenarkan ketidakadaan qudrat bagi Allah, karena wajib adalah sesuatu yang ketidakadaannya tidak dibenarkan akal sebagaimana penjelasan terdahulu.

Adapun wajib dengan makna sesuatu yang diberi pahala karena mengerjakannya dan diberi siksaan karena meninggalkannya, maka ini adalah makna lain yang tidak dimaksudkan dalam pembahasan ilmu Tauhid, maka janganlah kamu menyamakan perkara tersebut.

Iya, kalau dikatakan: ”Wajib bagi orang mukallaf mengi’tiqadkan Qudrat Allah Ta’ala, maka jadilah maknanya diberi pahala atas i’tiqad tersebut dan diberi siksaan karena meninggalkan i’tiqad tersebut. Maka bedakanlah antara perkataan: ”I’tiqad yang seperti ini adalah wajib” dan antara perkataan umpamanya: ”Ilmu itu adalah wajib”, karena jika dikatakan ilmu itu wajib bagi Allah, maka maknanya adalah ilmu Allah Ta’ala yang akal tidak membenarkan ketidakadaannya. Dan jika dikatakan: ”Mengi’tiqadkan ilmu adalah wajib”, maka maknanya adalah akan diberi pahala jika mengi’tiqadkannya dan akan diberi siksaan jika tidak mengi’tiqadkannya. Maka berhati-hatilah terhadap perbedaan di antara keduanya, dan janganlah kami menjadi orang yang bertaqlid dalam akidah agama, maka karena itu jadilah imanmu masih diperselisihkan di dalam beragama, kemudian kami kekal di dalam neraka, menurut orang yang berpendapat: ”Taqlid itu tidak mencukupi”.

Sanusi telah berpendapat: ”Seseorang tidak menjadi menjadi mukmin jika dia berkata: ”Saya mantap dengan akidah-akidah itu walaupun saya dipotong menjadi beberapa potongan, maka saya tidak akan mencabut kemantapan saya ini”. Bahkan tidaklah dia menjadi mukmin sampai dia mengetahui setiap akidah dari 50 akidah dengan dalilnya. Dan mendahulukan ilmi ini adalah fardlu sebagaimana dikutip dari Kitab Syarhu Al-Aqo’id, karena pengarangnya menjadikan ilmu ini sebagai dasar yang dibangun di atasnya barang yang lain.” Maka hukum itu tidak mensahkan wudlu seseorang atau shalat seseorang kecuali jika seseorang itu mengetahui dengan akidah-akidah ini atau dia mantap dengan akidah-akidah ini menurut perbedaan yang demikian itu.

Dan jika dikatakan bahwa sifat lemah adalah mustahil bagi Allah Ta’ala, maka maknanya adalah bahwa sifat lemah tidak dibenarkan oleh akal tentang terjadi dan keberadaannya bagi Allah Ta’ala. Seperti itulah yang dikatakan dalam Baqi al-Mustahilat (sisa ketidakmungkinan). Dan jika dikatakan bahwa Allah telah memberi rezeki kepada Zaid berupa uang dinar, maka itu disebut dengan jaiz, karena maknanya bahwa yang demikian itu, akan membenarkan dengan adanya uang dinar pada satu waktu dan ketidakberadaannya di waktu yang lain.

LIMA PULUH AKIDAH

Dan sebaiknya kami sebutkan untuk Anda tentang 50 akidah secara global sebelum menyebutkannya secara terperinci. Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya wajib bagi Allah Ta’ala 20 sifat dan mustahil bagi Allah Ta’ala 20 sifat, dan jaiz pada hak Allah Ta’ala satu sifat, maka inilah 41 akidah. Dan wajib bagi Rosul 4 sifat dan mustahil 4 sifat dan jaiz pada hak para Rosul satu sifat, maka inilah yang disebut 50 akidah. Dan akan datang uraian pembahasan ketika menyebutkan akidah-akidah secara teperinci, insya Allah (jika Allah menghendaki).

No comments: