PROBLEMATIKA
PENDIDIKAN DI INDONESIA
1.
Sistem
Pendidikan dan Persoalan Ujian Nasional
Pemerintah telah memberikan perhatian
serius terhadap pendidikan di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan telah
disahkan dan diberlakukan peraturan perundang-undangan antara lain:
a. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
b. Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
c. Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
d. Peraturan-Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama yang mengatur tentang pelaksanaan
pendidikan di Indonesia.
Sebagai suatu sistem, pendidikan di
Indonesia sudah jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Sistem pendidikan di
Indonesia sudah diatur dalam Sistem Pendidikan Nasional. Sistem pendidikan
nasional sebagai suatu dasar pelaksanaan pendidikan di Indonesia dengan
sistematis telah mengatur semua hal yang berkaitan dengan pendidikan. Sistem
pendidikan nasional mengatur tentang:
a.
Dasar, fungsi, dan tujuan
b.
Prinsip penyelenggaraan
c.
Hak dan kewajiban orang tua, masyarakat, dan pemerintah
d.
Peserta didik
e.
Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan
f.
Bahasa pengantar
g.
Wajib belajar
h.
Standar nasional pendidikan
i.
Kurikulum
j.
Pendidik dan tenaga kependidikan
k.
Sarana dan prasarana pendidikan
l.
Pendanaan pendidikan
m.
Pengelolaan pendidikan
n.
Peran serta masyarakat
o.
Evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi
p.Pendirian
satuan pendidikan
q.
Penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga negara lain
r.
Pengawasan pendidikan
Dengan
aturan yang jelas, pemerintah selalu melakukan perubahan dan perbaikan dunia
pendidikan di Indonesia, terutama pada sistem pengelolaan mutu pendidikan.
Namun, upaya pemerintah dalam meningkatkan pengelolaan mutu pendidikan
mengalami hambatan, yaitu dengan penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) yang masih
saja menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat, mulai dari siswa, orang
tua, praktisi dan pengamat pendidikan. Semua memprotes dan tidak setuju dengan
penyelenggaraan UN. Berbagai keberatan yang dilontarkan terhadap
penyelenggaraan UN bukan tanpa alasan. Para kalangan tersebut memiliki alasan
masing-masing seperti: siswa merasa tertekan dan cemas berlebihan karena takut
tidak lulus; para orang tua merasa khawatir dengan nasib dan masa depan siswanya;
para praktisi pendidikan (tenaga kependidikan) merasakan penyelenggaran UN
menimbulkan diskriminasi terhadap sejumlah mata pelajaran; para pengamat dan
akademisi menilai UN tidak sesuai dengan prinsip-prinsip evaluasi pendidikan
dan mengesampingkan aspek pedagogis dalam pendidikan. Namun demikian, meskipun
hampir semua komponen menolaknya. Pemerintah tetap berjalan dengan rencananya
untuk menyelenggarakan UN.
Pemerintah
seakan tidak mendengar dan tidak peduli dengan berbagai argumentasi yang
dikemukakan oleh masyarakat luas. Upaya untuk mendorong motivasi belajar siswa
dan meningkatkan kualitas pendidikan menjadi alasan yang dilontarkan oleh
Pemerintah untuk tetap menyelenggarakan UN.
Kepedulian
terhadap kualitas proses dan hasil pendidikan menjadi perhatian yang serius. Berdasarkan
kajian teoritik dan fakta empirik tampak jelas bahwa UN berdampak negarif
terhadap kualitas proses dan hasil pendidikan. Apabila kondisi ini terus
berlanjut dikhawatirkan kualitas pendidikan akan semakin merosot dan tujuan
pendidikan nasional akan sulit untuk diwujudkan, dan pada akhirnya kondisi
masyarakat dan bangsa ini tidak akan pernah berubah, terus berada dalam
keterpurukan. Filsafat pendidikan mengatakan bahwa ”the end of education is
character”. Artinya, keberhasilan pendidikan diukur dari karakter siswa
yang terbentuk sesuai dengan tingkat pendidikannya. Ada sifat-sifat (karakter)
yang harus dimiliki lulusan SD, SMP, SMA, SMK dan perguruan tinggi. Karakter
itu sesuai dengan tuntutan filsafat, dalam hal ini filsafat pendidikan
Indonesia yakni Pancasila. Akan tetapi kebijakan pendidikan di Indonesia
menetapkan bahwa keberhasilan pendidikan ditetapkan berdasarkan hasil UN. Ini
sebuah kekeliruan yang mendasar. Penilaian hasil belajar adalah sebagian kecil
dari apa yang menjadi tujuan aktivitas pendidikan di sekolah. Kebijakan tentang
UN menunjukkan terjadi pengerdilan konsep pendidikan di Indonesia dari yang
seharusnya membangun karakter siswa bangsa menjadi hanya lulus UN. Sungguh
sebuah ironi yang menyedihkan. Kekeliruan seperti ini hampir mencakup seluruh
kebijakan pendidikan, paling tidak ada dua indikator utama karakter
keberhasilan pendidikan di sekolah yakni:
a. Karakter terpelajar, dan
b. Karakter terdidik.
Indikator
karakter tersiswa dapat dilihat dari kebiasaan belajar yang terbangun dalam
diri siswa. Karakter ini memberi gambaran sosok pribadi dengan kebiasaan tiada
hari tanpa belajar. Eager to learning (penggemar belajar) menjadi sesuatu yang
amat penting dalam hidupnya. Indikator kedua, yakni karakter terdidik, pribadi
yang memiliki sifat-sifat baik, sebagai warga negara, ataupun anggota
masyarakat. Dari dalam dirinya terus mengalir energi kebaikan, yang mendorong
orang lain pun menjadi lebih baik. Sayangnya, kedua indikator ini tidak pernah bisa
diukur dengan UN. Jadi ukuran keberhasilan di sekolah bukan hanya nilai UN,
yang hanya sebagian kecil aktivitas belajar, bahkan tidak bisa disebut sebagai
indikator karakter dan indikator kelulusan seorang siswa.
Lebih
lanjut penyelenggaraan UN akan memunculkan persaingan antar daerah untuk
mencapai hasil UN yang maksimal. Atmosfer persaingan antar daerah dalam
mencapai hasil UN inilah yang dianggap telah memicu terjadi berbagai bentuk ”anomali”
pelaksanaan UN. Setiap sekolah ditarget harus memperoleh nilai rata-rata UN dan
tingkat kelulusan sesuai keinginan pejabat. Karena dihantui rasa takut
mendapatkan teguran dan amarah, tak jarang pihak sekolah melakukan kecurangan
dengan membantu siswa didiknya dengan berbagai cara ketika UN berlangsung agar
target yang ditetapkan bisa terpenuhi. UN seharusnya perlu dimaknai sebagai
upaya untuk melakukan pemetaan mutu pendidikan secara nasional. Agar
ketimpangan antar daerah tak semakin melebar, seharusnya ada upaya serius untuk
memantau dan memberikan perhatian khusus kepada sekolah/daerah yang masih
rendah hasil UN-nya. Mereka perlu dipermudah dalam mendapatkan akses informasi
dan subsidi dari pemerintah. Di sisi lain banyak orang yang mengkhawatirkan
penyelenggaraan UN karena kualitas sangat beragam, fasilitas, dan perlakuan
yang diperoleh ratusan ribu sekolah di negeri beribu pulau ini, maka angka itu
tergolong berat untuk mayoritas siswa yang berada di daerah. Kemudian kelompok
siswa seperti ini berpotensi menjadi korban berikutnya dari kebijakan UN ini.
Mereka bisa kehilangan masa depan mereka, karena gagal memenuhi syarat
kelulusan minimal. Dampak dari penyelenggaraan UN itu juga berimbas pada
sekolah yang sekarang ini mempraktekkan apa yang disebut dengan teaching to
the test, yaitu sebuah aktifitas pengajaran yang memfokuskan
pembelajaran pada usaha membiasakan siswa didik mengenali dan familiar dengan
bentuk soal UN, dan mengajarkan bagaimana strategi menjawab soal dalam tempo
sesingkat-singkatnya. Dengan kata lain, ketika guru menyesuaikan proses
pembelajarannya dengan UN, dengan kata lain pembelajaran di sekolah sekarang
tidak jauh berbeda dengan apa yang sering ditemukan di dalam bimbingan belajar
yang lebih memfokuskan siswa-siswa mereka membahas soal-soal UN, terutama pada
siswa kelas X dan XII. Dengan demikian idealisme pengajaran yang humanis dan
berusaha mengembangkan tiga ranah pendidikan (koginitif, afektif, dan
psikomotor) secara seimbang dalam suasana belajar yang kreatif, inovatif, dan
dinamis sebagaimana tertulis dalam kurikulum akan menjadi terpinggirkan. Beranjak
dari hal tersebut perlu ada perbaikan sistem pengelolaan mutu pendidikan di
Indonesia dengan mengkaji penyelenggaraan UN sehingga tidak hanya mengacu pada
kelulusan siswa semata.
Siswa Beradu Keuntungan dalam
Mengikuti UN
Banyak
juga siswa yang menjadi tidak bersemangat hanya karena tidak lulus UN. Padahal,
UN bukanlah satu-satunya jalan untuk mengukur kemampuan. Sangat tidak manusiawi
jika UN sebagai tolak ukur keberuntungan siswa dalam mencoret lembaran soal
dalam hitungan menit. Selain itu, sangat tidak rasional juga ketika proses
mengukur kemampuan hanya berlangsung rata-rata dua jam dengan ketegangan yang
tidak bisa dihindari oleh siswa. Dan pada saat yang bersamaan tersebut semua siswa
di seluruh penjuru negeri ini sedang diuji dengan materi yang sama. Padahal,
kemampuan masing-masing siswa pasti berbeda-beda. Bayangkan bila seorang siswa
mendapatkan nilai yang sangat bagus pada beberapa mata pelajaran yang di-UN-kan
tetapi mendapat nilai yang di bawah standar pada satu mata pelajaran tersebut,
berarti siswa tersebut dapat dikatakan tidak lulus UN. Haruskah ia mengulangi
belajar selama setahun lagi dengan materi-materi yang membosankan? namun jangan
dianggap bahwa siswa yang tidak lulus adalah siswa yang bodoh. Nilai yang ada
pada siswa bukan sebatas nilai pada UN. Perlu direnungkan sekali lagi, UN telah
membuat banyak siswa merasa tertekan, depresi, bahkan akan memengaruhi
kecemasan psikologis siswa.
Bagaimanapun
penyelenggaraan UN di Indonesia akan menimbulkan dampak negatif dan positifnya.
Adapun dampak negatif dari penyelenggaraan UN antara lain:
(1)
membuat siswa menghalalkan segala cara untuk lulus UN, dan bahkan sarat dengan
pengaduan nasib (beruntung dan tidak beruntung) karena adakalanya siswa yang
pintar di kelas dan sering mendapat juara akan tidak lulus UN dan sebaliknya.
UN telah membuat para siswa, guru, dan orang tua merasa tertekan, dan stress.
Rasa tertekan di kalangan siswa dan guru itu biasanya lebih parah terjadi di
sekolah yang lokasinya jauh dari perkotaan (daerah terpencil). Hal ini
mudah dipahami karena disparitas kualitas pengajaran antara sekolah di daerah
urban (perkotaan) dengan daerah rural (perkampungan) masih menjadi problema
dunia pendidikan Indonesia yang sampai hari ini yang belum terselesaikan. Maka,
ketika standar kelulusan UN menuntut sama untuk semua siswa, tanpa
mempertimbangkan objektifitas kualitas pengajaran di sekolah, maka jelas para
siswa, guru, dan juga orang tua di daerah terpencil akan merasa tertekan,
stress, takut, dan bahkan putus asa perihal kelulusan mereka pada UN. Kecemasan
seperti inilah kemudian yang membuat sebagian (besar) dari siswa tergoda untuk
mencari short cut, jalan pintas untuk menembus batas nilai minimal kelulusan
UN, dengan berlaku curang pada pelaksanaan UN. Dan cerita tentang
ketidakjujuran ini telah menjadi ’kisah sedih tahunan’ pasca pelaksanaan UN di
negeri ini. Ya, setiap tahun selalu terdengar dan terlihat di berbagai media tentang
parodi ketidakjujuran itu dipertontonkan oleh sebagian insan pendidikan. Sebuah
kisah ketidakjujuran yang membuat wajah pendidikan nasional semakin buram.
(2)
sepintar apapun siswanya, jika mental sedang tidak kuat saat mengikuti UN, maka
siswa tersebut tidak akan lulus.
(3)
mata pelajaran yang tidak ikut dalam UN dianaktirikan, dalam arti UN juga
berpotensi menyempitkan kurikulum sekolah (curriculum
narrowing) dan mendegradasi arti penting mata pelajaran tertentu, karena UN
selama ini hanya menguji mata pelajaran tertentu. Pemilihan beberapa mata pelajaran
saja yang diujikan di UN bisa misleading, karena secara tak langsung
merefleksikan bahwa mata pelajana non UN adalah ’kurang penting’. Padahal
seseorang siswa didik tidak bisa hidup hanya dengan beberapa mata pelajaran
yang di-UN-kan saja. Karena di dunia sebenarnya, seseorang mesti punya multi
skill untuk bisa sukses dalam hidup.
(4)
dalam pendidikan sekarang ini menyangkut 3 aspek yaitu (kognitif, afektif,dan
psikomotorik), sedangkan dalam UN hanya menyangkut aspek kognitif saja bahkan
prestasi dan kelulusan siswa dipertaruhkan hanya beberapa jam saja. UN yang
menggunakan bentuk soal multiple choise hanya akan dapat mengukur
hasil belajar pada ranah kognitif, tingkatan berpikir yang mampu terukur
melalui bentuk soal MC (multiple choise) hanya sampai pada tingkat
berpikir aplikasi. Kondisi seperti ini mendorong para siswa belajar dengan
menghafal. Belum lagi, ranah afektif dan psikomotorik yang merupakan bagian
dari tujuan pembelajaran yang juga harus diukur ketercapaiannya, tidak
dilakukan. Sulit diharapkan dapat diukur dengan menggunakan UN, yang sifatnya
masal dan dilakukan dalam waktu yang sangat terbatas. Sekali lagi kondisi ini
akan berakibat pada pembelajaran di sekolah hanya pada pengembangan kecerdasan
intelektual, sementara kecerdasan lainnya (multiple intelegence Gardner)
akan tidak mendapatkan perhatian yang memadai.
(5)
Selama ini hasil UN dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa. Proses belajar
yang dilakukan siswa selama 3 tahun, nasibnya ditentukan oleh hasil ujian yang
dilakukan beberapa jam saja. Ketidaklulusan siswa dalam UN bisa jadi bukan
karena faktor ketidakmampuannya menguasai materi pelajaran, tetapi karena
faktor kelelahan mental (mental fatique), karena stres pada saat
mengerjakan ujian atau karena kesalahan pengukuran yang biasa terjadi pada
setiap tes (false negative). Ketidakadilan juga bisa dilihat dari
proses pembelajaran yang dialami siswa di satu sekolah dengan sekolah lainnya
yang jauh berbeda. Para siswa yang mengikuti proses pembelajaran dengan situasi
dan kondisi yang sangat jauh berbeda diuji dengan cara dan alat yang sama. Di
satu sisi, siswa belajar di sekolah yang memiliki fasilitas yang lengkap dan
dilayani oleh SDM yang jumlah dan kualitasnya sangat memadai. Jelas, hasil
belajar siswa yang belajar di sekolah seperti ini, sangat mungkin mencapai
hasil yang optimal. Namun di sisi lain, di sekolah ’nan jauh di sana’, sebagian
besar siswanya menjalani proses pembelajaran yang serba seadanya. Bahkan
gedungnya pun hampir roboh. Bagaimana mungkin para siswanya dapat belajar
dengan baik untuk mendapatkan hasil belajar dengan nilai yang baik dengan
kondisi seperti itu.
(6)
untuk mempersiapkan para siswanya menghadapi dan mengerjakan soal-soal UN, para
guru biasanya menggunakan metode pembelajaran drill, di mana para siswa dilatih
untuk mengerjakan sejumlah soal yang diduga akan keluar dalam ujian. Melalui
metode ini guru mengharapkan para siswa terbiasa menghadapi soal ujian dan
menguasai teknik-teknik dan trik mengerjakan soal yang dihadapi. Pembelajaran
dengan model ini jelas tidak bermakna, karena apa yang dipelajari bersifat
mekanistik, bukan pada penguasaan konsep yang esensial. Pembelajaran seperti
ini tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir dalam memecahkan masalah, yang
menjadi indikator kecerdasan sebagaimana yang diharapkan dicapai melalui
pembelajaran.
Sedangkan
dampak positif penyelenggaraan UN antara lain:
(1)
dapat melihat pemetaan pendidikan,
(2)
dapat melihat kemampuan siswa,
(3)
menjadikan siswa untuk lebih giat belajar, tetapi hanya dalam mata pelajaran
tertentu,
(4)
dari pihak tenaga pendidik lebih giat lagi dalam mendidik siswanya yang dapat
dilihat dengan memberikan pemantapan dan jam tambahan untuk mata pelajaran
tertentu
Penyelenggaraan UN secara
Ideal
Mencermati
perdebatan UN, maka perlu ada kajian komprehensif, baik menyangkut aspek
akademis/pedagogis, yurudis formal, maupun kajian empirik. Hal ini penting agar
peran dan fungsi ujian berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan penyelenggaraan
evaluasi dalam suatu proses pembelajaran. UN seharusnya dilakukan untuk
mengukur ketercapaian tujuan pendidikan nasional. Untuk itu diperlukan
instrumen evaluasi yang variatif dan komprehensif; tidak cukup hanya dengan
menggunakan instrumen evaluasi dalam bentuk tes tetapi juga diperlukan dalam
bentuk non-tes. Karena evaluasi dalam bentuk tes hanya dapat mengukur
penguasaan pengetahuan yang masuk dalam ranah kognitif. Demikian pula
bila dikaji dari sudut pandang yuridis formal. UU Sisdiknas
menjelaskan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk
memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara
berkesinambungan. Hal ini menunjukkan bahwa pendidik bertugas mengevaluasi
proses dan hasil belajar, sedangkan pemerintah bertugas mengevaluasi pengelolaannya,
baik pada satuan jalur, jenjang maupun jenis pendidikannya serta UN tidak lagi
dijadikan penentu kelulusan, akan tetapi sebagian kecil dari sistem penilaian
pendidikan. UN tidak dapat menjadi penentu peningkatan mutu pendidikan.
UN
hendak didesain sebagai ”starting point” peningkatan mutu pendidikan, harus ada
perubahan mendasar tentang sistem dan mekanismenya, antara lain:
Pertama,
dalam penentuan kelulusan diserahkan sepenuhnya kepada sekolah dengan
menggunakan rambu-rambu dan standar kelulusan secara nasional. Harus ada
pemantauan sistemik terhadap proses penilaian kompetensi siswa secara jujur,
fair, dan objektif, sehingga tak memungkinkan sekolah untuk melakukan
manipulasi penilaian.
Kedua,
kualitas soal UN harus benar-benar valid sehingga mampu membedakan
siswa yang berotak cemerlang dan siswa yang berotak pas-pasan. Jangan sampai siswa-siswa
cerdas justru terbonsai dan harus jadi tumbal pendidikan akibat soal UN yang
diragukan mutunya. Sebaliknya, siswa yang kehilangan etos belajar dan bermental
pemalas justru termanjakan dengan mendapatkan hasil UN yang bagus dan memuaskan.
Ketiga,
harus ada sinkronisasi antara kurikulum yang teraplikasikan dalam kegiatan
pembelajaran dan sistem UN yang dilaksanakan. Selama ini, UN terkesan menjadi
sebuah entitas yang terlepas dari kurikulum. Menjelang UN, siswa tak pernah
mendapatkan layanan pendidikan yang inovatif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan, lantaran siswa hanya dilatih untuk menjadi penghafal kelas wahid.
Dilihat
dari aspek akademis-pedagogis, yuridis formal, maupun pengalaman empiris, Ujian
Negara (UN) selayaknya untuk segera ditinggalkan. UN telah membawa dampak
negatif yang sangat luas terhadap penyelenggaran pembelajaran di sekolah.
Proses belajar yang dialami para siswa menjadi sangat parsial, hanya
mengembangkan aspek kognitif, sementara ranah afektif dan psikomotorik
terabaikan. Suasana belajarnya menjadi sangat menegangkan membuat siswa cemas
berlebihan, belajar dalam kondisi ’terpaksa’, dan tidak menyenangkan. Suasana
belajar yang memberi peluang kepada siswa untuk bereksplorasi dan menemukan
sesuatu, dan memecahkan berbagai permasalahan sulit terjadi. Berbagai inovasi
tentang pendekatan dan strategi pembelajaran yang sangat baik juga sulit
diimplementasikan di dalam kelas. Pemerintah hendarknya segera mempertimbangkan
kembali kelanjutan penyelenggaraan UN. Dengan berbagai kecurangan yang muncul
akan berdampak negatif pada perkembangan siswa dan kualitas pendidikan Indonesia.
Siswa berkembang dalam suasana yang penuh kecurangan, yang sekaligus bisa
menjadi pelajaran bagi siswa untuk melakukan hal yang sama. Kalau ini terjadi,
sungguh merupakan suatu musibah besar bagi dunia pendidikan Indonesia.
Kesimpulan
UN
sebagai suatu kegiatan evaluasi di bidang pendidikan seharusnya tidak harus
diperdebatkan lagi. Perdebatan terjadi karena kekurangan dan kelemahan yang ada
dalam praktik penyelenggaraan pendidikannya. Banyak ditemui bahwa delapan
standar nasional pendidikan yang telah ditetapkan dalam sistem pendidikan tidak
terpenuhi.
a.
Standar Isi
Diakui
atau tidak banyak satuan pendidikan yang tidak mampu menyusun kurikulum satuan
pendidikannya, sehingga yang dilakukan hanya mengadopsi ataupun hanya copy
paste. Akibatnya antara kurikulum yang disahkan dan pelaksanaan tidak sesuai. Hal
ini diperparah dengan Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama yang dengan mudah
memberikan pengesahan tanpa melakukan analisis terlebih dahulu terhadap
kurikulum yang diajukan oleh satuan pendidikan. Ketidakmampuan satuan
pendidikan menyusun kurikulum juga berdampak pada pengembangan kurikulum yang
tidak dijalankan. Sejak disahkan pertama kali sampai bertahun-tahun berikutnya
tetap saja sama.
b.
Standar Kompetensi Lulusan
Lulusan
yang dihasilkan tidak memenuhi standar minimal yang ditetapkan. Lulusan yang
dihasilkan hanya menambah deretan angka pengangguran, catatan kriminal, dan sosial
lainnya. Lulusan harusnya menguasai kompetensi minimal pada tiga aspek, yaitu
aspek kognitif (pengetahuan), aspek afektif (sikap), dan aspek psikomotorik
(keterampilan).
c.
Standar Sarana dan Prasarana
Potret
buram sarana prasarana pendidikan di Indonesia telah jelas menunjukkan bahwa
sarana prasarana pendidikan tidak merata. Betapa banyak sekolah/madrasah dalam
keadaan darurat yang tetap melaksanakan proses belajar mengajar. Sarana
prasarana pendidikan yang memadai hanya berada di daerah perkotaan saja.
Pemerintah kurang memperhatikan sarana prasarana pendidikan yang ada di daerah
pedesaan, pegunungan, perbatasan, dan daerah-daerah terpencil lainnya.
d.
Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Wajah
pendidikan Indonesia diperparah dengan keberadaan sumber daya manusia yang
tidak kompetensi. Banyak dijumpai guru-guru dan tenaga kependidikan lainnya
yang tidak profesional. Harus jujur diakui bahwa guru-guru kita banyak yang
tidak profesional, bahkan program sertifikasi yang digulirkan pemerintah tidak
ada dampak positif yang signifikan. Kinerja guru tidak lebih baik setelah
memperoleh tunjangan sertifikasi.
e.
Standar Pengelolaan
Kepala
sekolah/madrasah sebagai penanggungjawab pengelolaan pendidikan di satuan
pendidikan, juga banyak yang ABS (asal bapak senang) dengan pimpinan instansi
di atasnya dan tidak memperhatikan proses pendidikan di sekolah/madrasah yang
dipimpinnya.
f.
Standar Proses
Proses
belajar mengajar di kelas harus mengikuti langkah-langkahnya, yaitu kegiatan
pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup.
Selain pada karakteristik siswa,
ternyata pada proses pembelajaranpun masih banyak ditemui persoalan-persoalan
rumit yang mencoreng wajah pendidikan Indonesia. Persoalan-persoalan tersebut
sebagaimana yang tercantum pada latar belakang masalah makalah ini. Kajian
tentang persoalan-persoalan yang berkaitan dengan proses pembelajaran
memerlukan pemikiran dan usaha yang sungguh-sungguh dari guru. Sebelum membahas
persoalan-persoalan tersebut, berikut ini beberapa landasan teori tentang
proses pembelajaran.
Menurut
Tirtarahardja (2005:40):
Proses
pendidikan merupakan kegiatan memobilisasi segenap komponen pendidikan oleh
pendidik terarah kepada pencapaian tujuan pendidikan. Bagaimana proses
pendidikan itu dilaksanakan sangat menentukan kualitas hasil pencapaian tujuan
pendidikan.
Proses pendidikan harus dilaksanakan
dengan memanfaatkan semua komponen yang terkait dengannya agar mencapai tujuan
pendidikan yang berkualitas.
Konsep belajar dan mengajar menjadi padu
dalam satu kegiatan ketika terjadi interaksi antara guru siswa atau siswa siswa
dalam pengajaran yang berlangsung. Di sinilah belajar dan mengajar bermakna
sebagai suatu proses pembelajaran (Sudjana 2008:28).
Proses pembelajaran akan terjadi apabila
ada interaksi dan komunikasi antara guru dan siswa. Tidak semua interaksi dan
komunikasi merupakan proses pembelajaran. Interaksi dan komunikasi merupakan
proses pembelajaran apabila dilaksanakan dengan bimbingan guru dengan alur
kegiatan dimulai dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan
penutup.
Ada empat komponen dalam proses
pembelajaran, yaitu tujuan, materi atau bahan, metode dan alat, dan penilaian
(Sudjana 2008:30).
Komponen proses pembelajaran menjadi hal
penting yang harus diperhatikan guru agar kegiatan yang dilaksanakannya
mencapai hasil sesuai dengan yang diharapkan.
Segi transformasi (proses) pendidikan
meliputi: kurikulum atau materi pembelajaran, metode mengajar dan teknik
penilaian, sarana atau media, sistem administrasi, guru dan unsur-unsur
personal lainnya yang terlibat dalam proses pendidikan (Sudijono 1998:27).
Proses pembelajaran juga berkaitan
dengan sistem administrasi dan unsur personal lainnya. Proses pembelajaran akan
berjalan baik apabila didukung oleh sistem administrasi yang baik pula. Sistem
administrasi akan menjadi baik apabila didukung oleh personal-personal yang
kompeten sesuai dengan bidang tugasnya.
Dalam aktivitas pendidikan ada enam
faktor pendidikan yang dapat membentuk pola interaksi atau saling mempengaruhi
namun faktor integratirnya terutama terletak pada pendidik dengan segala
kemampuan dan keterbatasannya. Keenam faktor pendidikan tersebut meliputi:
faktor tujuan, faktor pendidik, faktor peserta didik, faktor isi/materi, faktor
metode pendidikan, dan faktor situasi lingkungan (Ihsan 1996:7-10).
Komponen proses pembelajaran saling
mempengaruhi antara satu dan lainnya. Walaupun demikian, kemampuan guru masih
menjadi faktor dominan dalam pelaksanaannya. Selain guru, situasi lingkungan juga
berpengaruh besar terhadap keberhasilan proses pembelajaran. Situasi yang
bising, panas, dan kotor akan mengganggu proses pembelajaran. Oleh karena itu,
situasi lingkungan belajar harus dikondisikan setenang dan senyaman mungkin
agar proses pembelajaran dapat berlangsung dengan lancar.
Selain faktor pendekatan, masih banyak
faktor lain yang ikut menentukan keberhasilan proses pembelajaran, antara lain
kurikulum, program pengajaran, kualitas guru, materi, strategi, sumber belajar,
dan teknik penilaian (Muslich 2009:40).
Ada faktor pendekatan pembelajaran yang
dilakukan oleh guru yang turut menentukan keberhasilan proses pembelajaran.
Pendekatan yang dilakukan harus lebih berpihak kepada siswa, artinya pendekatan
tersebut lebih menyentuh ke siswa, lebih menempatkan siswa sebagai pelaku
belajar, sedangkan guru hanya sebagai motivator, fasilitator, dan organisator.
Setidaknya ada empat komponen yang harus
terintegrasi dalam proses pembelajaran, yaitu tujuan pembelajaran, materi
pembelajaran, metode dan alat pembelajaran, dan penilaian pembelajaran. Tujuan
pembelajaran harus dirumuskan secara operasional oleh guru agar hasilnya dapat
diukur. Agar hasil pembelajaran tersebut dapat diukur, maka setiap tujuan
pembelajaran harus ditentukan pula indikator-indikator pembelajarannya. Materi
pembelajaran dipilih sesuai dengan tujuannya. Materi-materi yang tidak sesuai
dengan tujuan harus dihindari. Guru juga harus terampil memilih metode
pembelajaran yang sesuai dengan materi, metode pembelajaran sebaiknya
bervariasi dengan menggunakan media pembelajaran yang tepat. Instrumen
penilaian penting disusun setelah guru menetapkan tujuan, materi, metode dan
alat pembelajaran. Hal yang harus diperhatikan oleh guru adalah bahwa antara
tujuan, materi, metode dan alat, serta penilaian harus ada kesesuaian dan
keterkaitan.
Khodijah (2011:199): ”Suatu pembelajaran
dikatakan berhasil bila mencapai hasil yang diharapkan.” Keberhasilan suatu
proses pembelajaran dapat diukur dari pencapaian tujuannya. Tujuan pembelajaran
yang merupakan hasil yang diharapkan dapat dilihat atau diukur melalui
indikator-indikatornya. Apabila indikator-indikator tersebut tercapai maka
dapat dikatakan bahwa proses pembelajaran berhasil.
Untuk mengukur proses pembelajaran dapat
dikaji melalui beberapa persoalan sebagai berikut:
a. Apakah
guru merencanakan dan mempersiapkan pembelajaran melibatkan siswa secara
sistematik?
b. Apakah
guru memotivasi siswa untuk belajar sehingga siswa dengan penuh kesadaran,
kesungguhan dan tanpa paksaan?
c. Apakah
guru menempuh beberapa kegiatan belajar dengan menggunakan multi metode dan
multi media?
d. Apakah
siswa mempunyai kesempatan untuk mengontrol dan menilai sendiri hasil belajar
yang dicapainya?
e. Apakah
proses pembelajaran dapat melibatkan semua siswa dalam kelas?
f. Apakah
suasana pembelajaran cukup menyenangkan dan merangsang siswa belajar?
g. Apakah
kelas memiliki sarana belajar yang cukup kaya, sehingga menjadi laboratorium
belajar? (Sudjana 2008:35-37)
Pengkajian terhadap pengukuran proses
pembelajaran dapat dilakukan dengan memperhatikan perencanaan dan persiapan
pembelajaran melibatkan siswa, motivasi belajar siswa, penggunaan multimetode
dan multimedia, penilaian melibatkan siswa, pembelajaran melibatkan semua
siswa, pembelajaran menyenangkan, dan kecukupan sarana belajar.
Persoalan-persoalan dalam proses
pembelajaran tidak akan terjadi apabila guru menguasai kompetensi yang harus
dimiliki, yaitu: kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi
pribadi, dan kompetensi sosial. Proses pembelajaran tidak berjalan dengan baik,
dikarenakan guru tidak menguasai sepenuhnya kompetensi pedagogik dan kompetensi
profesional. Guru tidak membuat perencanaan yang matang tentang pembelajaran
yang akan dilaksanakannya. Guru tidak menguasai metode pembelajaran dengan
baik. Guru tidak menguasai karakteristik siswa. Guru melaksanakan pembelajaran
sekenanya saja, tanpa memperhatikan komponen-komponen proses pembelajaran.
Tidak sedikit ditemui guru yang sama sekali tidak kompeten dalam profesinya
sebagai guru, seperti guru Pendidikan Agama Islam yang tidak mampu tulis baca
Al-Qur’an dengan lancar. Bagaimana mungkin akan mengajarkan Pendidikan Agama
Islam, bila guru sendiri tidak mampu tulis baca Al-Qur’an? Belum lagi ditambah
dengan ketidakmampuan guru menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), guru
hanya menggunakan metode ceramah dalam proses pembelajarannya, belum lagi
ditambah dengan fasilitas pendidikan yang tidak memadai.
Selain
sisi guru, ada hal lain yang berhubungan erat dengan proses pembelajaran, yaitu
karakteristik siswa. Perbedaan karakteristik siswa menyebabkan perbedaan dalam
pola belajar siswa. Di sinilah diperlukan peran guru untuk mengkondisikan
proses pembelajaran dengan memperhatikan keanekaragaman karakteristik siswa
tersebut.
g.
Standar Penilaian
Tahapan pelaksanaan evaluasi proses pembelajaran adalah penentuan tujuan, menentukan
desain evaluasi, pengembangan instrumen evaluasi,
pengumpulan informasi/data, analisis
dan interpretasi dan tindak lanjut.
1. Menentukan tujuan
Tujuan evaluasi
proses pembelajaran dapat dirumuskan dalam bentuk
pernyataan atau pertanyaan. Secara umum tujuan evaluasi proses pembelajaran
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) Apakah strategi pembelajaran
yang dipilih dan dipergunakan
oleh guru efektif, (2) Apakah media pembelajaran
yang digunakan oleh guru efektif,
(3) Apakah cara mengajar guru menarik dan sesuai dengan pokok materi sajian yang dibahas, mudah diikuti dan berdampak
siswa mudah mengerti materi sajian yang dibahas, (4) Bagaimana
persepsi siswa terhadap materi sajian yang dibahas berkenaan dengan kompetensi
dasar yang akan dicapai, (5) Apakah siswa antusias untuk mempelajari materi
sajian yang dibahas,
(6) Bagaimana siswa mensikapi pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru, (7) Bagaimanakah cara belajar siswa mengikuti
pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru.
2. Menentukan desain evaluasi
Desain evaluasi proses pembelajaran mencakup rencana evaluasi proses
dan
pelaksana evaluasi. Rencana evaluasi proses pembelajaran berbentuk matriks
dengan kolom-kolom berisi
tentang: no. urut, informasi yang dibutuhkan, indikator, metode yang mencakup teknik dan instrumen, responden dan waktu.
Selanjutnya pelaksana evaluasi proses adalah guru mata
pelajaran yang bersangkutan.
3. Penyusunan instrumen evaluasi
Instrumen evaluasi proses pembelajaran untuk memperoleh informasi deskriptif dan/atau
informasi judgemental dapat berwujud: (1) Lembar pengamatan untuk mengumpulkan informasi tentang kegiatan belajar siswa dalam mengikuti pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru dapat digunakan oleh guru sendiri atau oleh siswa untuk saling mengamati, dan (2) Kuesioner
yang harus dijawab oleh siswa berkenaan
dengan strategi pembelajaran yang dilaksanakan guru, metode
dan media pembelajaran yang digunkan oleh guru,
minat, persepsi siswa tentang pembelajaran untuk suatu materi pokok sajian
yang telah terlaksana.
4. Pengumpulan data atau
informasi
Pengumpulan data atau informasi dilaksanakan secara obyektif dan terbuka agar diperoleh informasi yang dapat dipercaya dan bermanfaat bagi peningkatan
mutu
pembelajaran. Pengumpulan
data atau informasi
dilaksanakan pada setiap akhir pelak- sanaan pembelajaran untuk materi sajian berkenaan dengan satu kompetensi dasar dengan maksud guru dan siswa memperoleh
gambaran menyeluruh dan kebulatan
tentang pelaksanaan pembelajaran yang telah dilaksanakan untuk
pencapaian penguasaan satu kompetensi dasar.
5. Analisis dan interpretasi
Analisis dan interpretasi hendaknya dilaksanakan segera setelah data atau informasi terkumpul. Analisis berwujud deskripsi hasil evalusi berkenaan dengan
proses pembelajaran yang telah terlaksana; sedang interpretasi merupakan
penafsiran terhadap deskripsi
hasil analisis hasil analisis proses pembelajaran. Analisis dan interpretasi dapat dilaksanakan bersama oleh guru dan maha- siswa agar hasil evaluasi dapat segera diketahui
dan dipahami oleh guru dan maha-siswa sebagai bahan dan dasar memperbaiki pembelajaran selanjutnya.
6. Tindak lanjut
Tindak lanjut merupakan kegiatan
menindaklanjuti hasil analisis
dan interpretasi. Dalam evaluasi
proses pembelajaran tindak lanjut pada dasarnya
berkenaan dengan pembelajaran yang akan dilaksanakan selanjutnya dan evaluasi
pembelajarannya. Pembelajaran yang akan dilaksanakan selanjutnya merupakan keputusan
tentang upaya perbaikan pembelajaran yang akan dilaksanakan sebagai
upaya peningkatan mutu pembelajaran; sedang tindak lanjut evaluasi pembelajaran
berkenan dengan pelaksanaan dan instrumen evaluasi
yang telah dilaksanakan mengenai tujuan,
proses dan instrumen
evaluasi proses pembelajaran.
Tahapan-tahapan penilaian inilah yang tidak dilaksanakan
oleh guru, guru melaksanakan evaluasi dengan sekenanya saja tanpa memperhatikan
tahapan-tahapan dalam evaluasi. Evaluasi yang dilaksanakan dengan sekenanya
tentu tidak akan mencapai hasil maksimal. Guru menyusun instrumen penilaian
tanpa memperhatikan tujuan dan indikator pembelajaran, sehingga aspek-aspek
yang seharusnya dinilai tidak dinilai.
h.
Standar Pembiayaan
Setiap
kegiatan sudah pasti membutuhkan biaya, demikian pula dengan pendidikan. Program
sekolah gratis dari pemerintah dirasakan justru mempersulit sekolah, khususnya
sekolah-sekolah swasta. Karena dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang
dikucurkan pemerintah hanya habis untuk membayar honor guru, sehingga sekolah
swasta tidak punya dana yang cukup untuk melakukan pengembangan sumber daya dan
fasilitas pembelajaran. Bagi sekolah negeri tentu tidak akan ada masalah,
karena fasilitas telah dicukupi oleh pemerintah, guru juga sudah digaji oleh
pemerintah.
Secara
umum, UN dengan standar kelulusannya bukanlah sesuatu yang harus ditakuti atau
dijadikan sebagai polemik. Apabila semua standar nasional pendidikan terpenuhi,
berapapun standar kelulusan yang ditetapkan tidak akan menjadi masalah. Selama
ini, ketakutan terhadap UN menunjukkan ketidaksiapan sumber daya manusia dalam
proses pendidikan. Ketidaksiapan atau mungkin ketidakmampuan inilah yang
menyebabkan penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan UN tersebut.
2.
Lembaga
Pendukung Pendidikan
Faktor-faktor yang saling terkait dan
saling mendukung dalam proses pendidikan telah terangkum dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Ada delapan
standar yang harus dipenuhi oleh suatu satuan pendidikan untuk menjamin
keberlangsungan dan keberlanjutan proses pendidikan, yaitu: a. standar isi, b.
standar proses, c. standar kompetensi lulusan, d. standar pendidik dan tenaga
kependidikan, e. standar sarana dan prasarana, f. standar pengelolaan, g.
standar pembiayaan, dan h. standar penilaian pendidikan.
Pendidikan merupakan tanggung jawab
bersama antara pemerintah dan segenap komponen masyarakat. Beberapa lembaga
pendukung pendidikan yang strategis antara lain: Komite sekolah/madrasah, PGRI,
Pusat Pengembangan Madrasah (PPM). Ketiga lembaga tersebut mempunyai peran dan
kontribusi masing-masing sesuai dengan fungsinya.
a.
Komite
madrasah
Komite Sekolah merupakan nama baru
pengganti Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3). Secara substansi kedua
istilah tersebut tidak begitu mengalami perbedaan, yang membedakan hanya
terletak pada pengoptimalan peran serta masyarakat dalam mendukung dan
mewujudkan mutu pendidikan.
Komite
Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka
meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan
pendidikan, baik pada pendidikan pra sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun
jalur pendidikan di luar sekolah (kepemendiknas nomor: 044/U/2002).
Tujuan pembentukan Komite Sekolah
adalah:
a. Mewadahi dan menyalurkan aspirassi
serta prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program
pendidikan di satuan pendidikan.
b. Meningkatkan tanggung jawab dan
peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
c. Menciptakan suasana dan kondisi
trasparan, akuntabel dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan
pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan (kepemendiknas nomor: 044/U/2002).
Adapun fungsi Komite Sekolah,
sebagai berikut:
a. Mendorong penumbuhan perhatian dan
komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
b. Melakukan kerjasama dengan
masyarakat (perorangan/organisasi/dunia usaha/dunia industri) dan pemerintah
berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
c. Menampung dan menganalisis aspirasi,
ide, tuntutan dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.
d. Memberikan masukan, pertimbangan,
dan rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai:
1)
Kebijakan dan program pendidikan.
2)
Rencana anggaran pendidikan dan belanja sekolah (RAPBS).
3)
Kriteria kinerja satuan pendidikan.
4)
Kriteria fasilitas pendidikan.
5)
Hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan.
e. Mendorong orang tua dan masyarakat
berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan
pendidikan.
f. Menggalang dana masyarakat dalam
rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
g. Melakukan evaluasi dan pengawasan
terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan
pendidikan (Kepmendiknas nomor: 044/U/2002).
Peranan Komite Sekolah
Secara kontekstual, peran komite
sekolah di antaranya sebagai berikut:
a. Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan
pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.
b. Pendukung (supporting agency) baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun
tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
c. Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas
penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
d. Mediator antara pemerintah
(eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan (Kepmendiknas nomor:
044/U/2002).
Depdiknas dalam buku Partisipasi
Masyarakat, menguraikan tujuh peranan komite sekolah terhadap penyelenggaraan
sekolah, yakni :
a. Membantu meningkatkan kelancaran
penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di sekolah baik sarana, prasarana
maupun teknis pendidikan.
b. Melakukan pembinaan sikap dan
perilaku siswa. Membantu usaha pemantapan sekolah dalam mewujudkan pembinaan
dan pengembangan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pendidikan demokrasi
sejak dini (kehidupan berbangsa dan bernegara, pendidikan pendahuluan bela
negara, kewarganegaraan, berorganisasi, dan kepemimpinan), keterampilan dan
kewirausahaan, kesegaran jasmani dan berolah raga, daya kreasi dan cipta, serta
apresiasi seni dan budaya.
c. Mencari sumber pendanaan untuk
membantu siswa yang tidak mampu.
d. Melakukan penilaian sekolah untuk
pengembangan pelaksanaan kurikulum, baik intra maupun ekstrakurikuler dan
pelaksanaan manajemen sekolah, kepala/wakil kepala sekolah, guru, siswa dan
karyawan.
e. Memberikan penghargaan atas
keberhasilan manajemen sekolah.
f. Melakukan pembahasan tentang usulan
Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).
g. Meminta sekolah agar mengadakan
pertemua untuk kepentingan tertentu (Depdiknas, 2001:17).
Mengacu pada peranan komite sekolah terhadap peningkatan
mutu pendidikan, sudah barang tentu memerlukan dana. Dana dapat diperoleh
melalui iuran anggota sesuai kemampuan, sumbangan sukarela yang tidak mengikat,
usaha lain yang tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan pembentukan komite
sekolah
Hubungan Sekolah dengan Komite Sekolah
Sekolah bukanlah suatu lembaga yang
terpisah dari masyarakat. Sekolah merupakan lembaga yang bekerja dalam konteks
sosial. Sekolah mengambil siswanya dari masyarakat setempat, sehingga
keberadaannya tergantung dari dukungan sosial dan finansial masyarakat. Oleh
karena itu, hubungan sekolah dengan masyarakat merupakan salah satu komponen
penting dalam keseluruhan kerangka penyelenggaraan pendidikan.
Adanya hubungan yang harmonis antara
sekolah dan masyarakat yang diwadahi dalam organisasi Komite Sekolah, sudah
barang tentu mampu mengoptimalkan peran serta orang tua dan masyarakat dalam
memajukan program pendidikan, dalam bentuk:
a. Orang tua dan masyarakat membantu
menyediakan fasilitas pendidikan, memberikan bantuan dana serta pemikiran atau
saran yang diperlukan sekolah.
b. Orang tua memberikan informasi
kepada sekolah tentang potensi yang dimiliki anaknya.
c. Orang tua menciptakan rumah tangga
yang edukatif bagi anak.
Berkenaan dengan peningkatan
hubungan sekolah dengan masyarakat, substansi pembinaannya harus diarahkan pada
meningkatkan kemampuan seluruh personil sekolah dalam:
a. Memupuk pengertian dan pengetahuan
orang tua tentang pertumbuhan pribadi anak.
b. Memupuk pengertian orang tua tentang
cara mendidik anak yang baik, dengan harapan mereka mampu memberikan bimbingan
yang tepat bagi anak-anaknya dalam mengikuti pelajaran.
c. Memupuk pengertian orang tua dan
masyarakat tentang program pendidikan yang sedang dikembangkan disekolah.
d. Memupuk pengertian orang tua dan
masyarakat tentang hambatan-hambatan yang dihadapi di sekolah.
e. Memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk berperan serta memajukan sekolah.
f. Mengikutsertakan orang tua dan tokoh
masyarakat dalam merencanakan dan mengawasi program sekolah (Depdiknas, 2001:20)
Upaya-upaya yang dilakukan oleh
Komite Sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan, meliputi:
a. Peningkatan partisipasi orang tua
dan masyarakat dalam kemajuan sekolah, khususnya dukungan moril dan material.
b. Peningkatan kesejarteraan guru.
c. Pengadaan sarana dan prasarana
pembelajaran.
d. Pengawasan terhadap program
pendidikan di sekolah.
Upaya-upaya
tersebut harus dilakukan Komite Sekolah secara maksimal sesuai dengan kemampuan
pengurus Komite Sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
b.
Persatuan
Guru Republik Indonesia (PGRI)
PGRI sebagai organisasi profesi dan
ketenagaan bagi guru telah melakakukan berbagai upaya cerdas, namun demikian
apresiasi dan pengakuan masyarakat masih belum setimpal dengan perjuangan yang
dilakukan.
Adapun upaya strategis yang dimaksud
antara lain:
1. Memberikan
perlindungan hukum bagi para guru.
2. Mendorong
pemerintah untuk menaikkan gaji guru.
3. Menyelenggarakan
seminar dan lokakarya pendidikan.
4. Mendorong
pemerintah untuk selalu memperhatikan nasib guru.
5. Mengusulkan
kepada pemerintah agar segera mengesahkan undang-undang guru.
6. Melakukan
kajian mendalam tentang peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pendidikan.
Sudah seharusnya PGRI menjadi jejaring
kekuatan organisasi guru dalam memperjuangkan nasib para anggotanya untuk
mengemban amanat UUD 1945, ”mencerdaskan bangsa”, PGRI selalu mengundang dan
bekerjasama pada organisasi lainnya, selama dalam bingkai NKRI. Mendukung upaya
pencerdasan bangsa tanpa memandang asal usul golongan, karena independensi
telah menjadi suratan perjuangannya. PGRI harus selalu berjuang untuk mengayomi
para anggotanya, tanpa membuat cidera demi kepentingan bangsa. Oleh karenanya
PGRI harus menyadari sepenuhnya membangun jejaring [net working] dalam kerangka peningkatan martabat guru selalu
dikedepankan.
Penempatan dan pembinaan guru tidak harus
melibatkan unsur PGRI, misal pemilihan kepala
sekolah yang menjadi
kewenangan pejabat yang telah ditunjuk. Karena kepala sekolah dan pejabat merupakan orang yang
ditugasi menangani dalam lembaga formal, maka kedua belah pihak harus
melaksanakan sesuai dengan aturan. Baik kepala sekolah maupun pejabat dalam peranannya masing-masing telah memenuhi
kriteria yang telah digariskan. Masing-masing telah memiliki landasan hukum
yang jelas. Hubungannya adalah terikat, antara penilai dan yang dinilai.
Batasan kerjanyapun juga sudah jelas.
Dalam situasi
tertentu, ternyata kursi kepala sekolah masih menjadi status yang menjanjikan. Unsur status sosialnya lebih kental
bila dibandingkan dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Sehingga di
beberapa sekolah atau di beberapa daerah masih terjadi rebutan. Dalam keadaan
yang demikian, bila PGRI diberi akses untuk membina atau bahkan diberi peran
untuk menentukan, dikhawatirkan akan terjadi kasus kong-kalikong. Karena
pengurus PGRI mayoritas berasal dari guru yang masih aktif.
PGRI sebagai
salah satu organisasi profesi yang dilindungi undang-undang, memiliki tanggungjawab moral meningkatkan
profesi guru. PGRI harus mengoptimalkan peran serta guru dalam rangka menuju
tujuan pendidikan.
Ikut serta
meningkatkan kompetensi guru juga
menjadi salah
satu tugas utama PGRI. Bila ada guru yang telah memenuhi standar kompetensi,
berarti ia telah memenuhi kriteria sebagai seorang guru yang akan menjadi harapan
untuk menjadi salah satu
pilar penyangga
pendidikan.
Guru yang
inovatif dan kreatif adalah guru yang bukan asal beda. Ia mampu mengembangkan
keilmuannya tidak hanya berdasar pada teori belaka. Juga tidak hanya bertumpu
pada pengetahuan yang diperoleh dari bangku kuliah saja.
Mampu mengembangkan kurikulum adalah semangat yang harus
dikobarkan oleh guru. Ia buka tipe guru yang konsumtif kurikulum. Pembelajaran
yang dibangun bukan berdiri di atas pondasi kurikulum belaka. Ia bermain hanya
dalam area teks kurikulum.
Peran organisasi guru dalam membangun
profesionalisme tenaga pendidik dan pendidikan bermutu diakui atau tidak mau
dirasakan belum maksimal. Guru mengemban peran strategis dan harus selalu
meningkatkan kinerjanya agar pendidikan benar-benar bermutu. Banyak agenda PGRI
yang harus dilakukan untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia. Sehingga
PGRI tidak pernah berhenti untuk berupaya meningkatkan mutu tenaga pendidik
profesional. Di sisi lain, PGRI sedikit banyak mampu mendorong pemerintah untuk
menetapkan upah minimum bagi guru non PNS. Oleh karenanya dosen dan
tenaga kependidikan dituntut mengamalkan jati diri PGRI dengan selalu
meningkatkan komitmen dan profesionalisme untuk memberikan layanan
terbaik kepada peserta didik dan masyarakat. PGRI sebagai wadah silaturahmi dan
berbagi para tenaga pendidik bisa menunjukkan lebih eksistensinya demi kemajuan
pendidikan berkualitas di Indonesia. Sebagaimana diketahui, PGRI sebagai salah
satu organisasi profesi yang dilindungi undang-undang, memiliki tanggungjawab
moral meningkatkan profesi guru. PGRI memiliki peran penting dalam
mengoptimalkan peran serta guru dalam rangka menuju tujuan
pendidikan. PGRI harus membina guru-guru yang inovatif dan kreatif dalam
mengembangkan kurikulum di sekolah agar tidak menjadi guru yang konsumtif
kurikulum. Guru yang kreatif akan membawa suasana belajar yang kondusif,
sehingga siswa menjadi bergairah dalam belajar. Guru yang inovatif adalah guru
yang selalu mencari hal-hal yang baru dalam proses transfer ilmu dan membentuk karakter.
c.
Pusat
Pengembangan Madrasah (PPM)
Tidak
bisa dipungkiri, madrasah pernah dan masih dianggap lembaga pendidikan kelas
dua di tanah air, oleh karena itu diperlukan sebuah lembaga sebagai Pusat
Pengembangan yang khusus menangani madrasah.
PPM harus melakukan monitoring dan
evaluasi ke madrasah, yang hasilnya dipresentasikan pada pengurus PPM dan
menjadi dasar dalam merumuskan program. Salah satunya bagaimana mengangkat
citra dengan mengubah paradigma masyarakat tentang madrasah melaui jalur media
massa atau forum ilmiah.
Beberapa hambatan yang dihadapi PPM
yaitu; anggaran yang tidak rutin, kepengurusan tidak berjalan dengan baik,
tidak ada rutinitas organisasi, dan minimnya koordinasi dan komunikasi antar
stake holder.
Ke depan diharapkan ada kesepahaman
tugas dan fungsi PPM. Sementara terkait diklat penulisan ilmiah, peserta yang
dilatih diharapkan setelah kembali bisa mensosialisasikan pemahaman yang
diperoleh.
Pendidikan nasional sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Tujuan pendidikan secara nasional
sungguh sangat ideal dan sangat luhur, tetapi pada kenyataannya hasil
pembelajara masih jauh dari tujuan yang diharapkan, masih banyak ditemui
persoalan-persoalan klasik dari hasil pembelajaran di negara ini, antara lain:
a. Terjadi
tawuran siswa baik antar sekolah, antar kelompok, maupun antar kelas.
b. Siswa
melawan bahkan sampai berani memukul guru.
c. Siswa
terlibat minuman keras dan narkoba atau tersangkut kasus kriminal.
d. Siswa
hamil di luar nikah.
e. Lulusan
tidak punya keterampilan yang dapat dibanggakan.
Persoalan-persoalan tersebut merupakan
fakta yang tidak dapat dipungkiri, harus dihadapi dan diselesaikan oleh para
pelaksana pendidikan. Ada hal-hal mendasar yang telah diabaikan sehingga hasil
yang diperoleh tidak sesuai dengan tujuan. Berikut beberapa kajian landasan
teori tentang hasil pembelajaran.
Suharsimi (2009:295): ”Siswa yang sudah
dimasukkan ke dalam alat pemrosesan, yaitu transformasi, dan sudah menjadi
bahan jadi, dikenal dengan istilah hasil atau keluaran (output).”
Secara mudah dapat dikatakan bahwa hasil
pembelajaran adalah siswa yang telah menjadi bahan jadi setelah melalui tahapan
transformasi atau pemrosesan, yaitu kegiatan belajar mengajar. Kualitas proses
pembelajaran sangat penting untuk memperoleh hasil yang baik.
Hasil belajar adalah perubahan perilaku
akibat belajar. Perubahan perilaku disebabkan karena mencapai penguasaan atas
sejumlah bahan yang diberikan dalam proses belajar mengajar. Pencapaian
tersebut didasarkan atas tujuan yang telah ditetapkan. Hasil tersebut dapat
berupa perubahan dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik (Purwanto
2009:46).
Perubahan perilaku siswa setelah belajar
merupakan hasil belajar. Siswa setelah mengikuti proses pembelajaran akan
mencapai penguasaan materi pembelajaran yang diberikan, penguasaan materi
menyebabkan perubahan perilaku siswa. Perubahan perilaku harus selalu sesuai
dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Perubahan perilaku siswa
harus mencakup perubahan dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Tipe hasil belajar menurut Bloom, dkk
dalam Sudjana (2008:55) ada tiga, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor.
Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah-pisahkan, dan merupakan
hubungan hirarki.
Tipe hasil belajar menurut Gagne dalam
Sudjana (2008:55) ada lima, yaitu: kemahiran intelektual (kognitif), informasi
verbal, mengatur kegiatan intelektual (strategi kognitif), sikap, dan
keterampilan motorik.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa
tipe hasil belajar siswa setelah mengikuti proses pembelajaran ada tiga tipe,
yaitu kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Ketiga tipe tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh,
sehingganya tidak bisa dipisah-pisahkan. Hasil belajar tidak hanya pada satu tipe
saja, tetapi harus menyeluruh pada ketiga aspeknya. Apabila perubahan perilaku
telah mencakup ketiga aspek tersebut, barulah dapat dikatakan hasil belajar
telah tercapai.
a. Tipe
kognitif
Tipe hasil belajar yang pertama
menyangkut aspek pengetahuan (kognitif). Terjadi perubahan tingkat pengetahuan
siswa. Siswa yang semula tidak tahu menjadi tahu. Aspek pengetahuan ini
mencakup perilaku mampu mengenal, mampu memahami, mampu menerapkan, mampu
menganalisis atau menghubungkan, mampu mensintesis atau menggabungkan, dan
mampu mengevaluasi atau menilai suatu kasus.
b. Tipe
afektif
Tipe hasil belajar yang kedua menyangkut
aspek sikap (afektif). Perubahan perilaku hasil belajar menyangkut sikap siswa.
Siswa yang semula selalu datang terlambat, berubah menjadi selalu datang tepat
waktu. Aspek perubahan sikap ini mencakup perilaku mampu menerima, mampu
menanggapi, mampu menilai, mampu mengorganisasi, dan mempunyai karakter.
c. Tipe
psikomotor
Tipe hasil belajar yang ketiga berkaitan
dengan aspek psikomotor yang meliputi skill (keterampilan) dan kemampuan. Siswa
yang semula tidak bisa berwudlu berubah menjadi bisa berwudlu. Perubahan
perilaku aspek psikomotor meliputi imitasi (mengamati dan menirukan),
manipulasi (melakukan dengan instruksi), presisi (melakukan tanpa bantuan),
artikulasi (mengkombinasikan berbagai aktivitas), naturalisasi (melakukan
aktivitas yang terkait dengan keterampilan lain).
Hasil pembelajaran dapat diukur dengan
mengkaji beberapa persoalan berikut:
a. Apakah
hasil belajar yang diperoleh siswa dalam bentuk perubahan tingkah laku secara
menyeluruh?
b. Apakah
hasil belajar yang dicapai siswa mempunyai daya guna dan dapat diaplikasikan
dalam kehidupan siswa?
c. Apakah
hasil belajar yang dicapai siswa tahan lama diingat dan cukup mempengaruhi
perilakunya?
d. Apakah
guru yakin bahwa perubahan siswa merupakan akibat dari proses pembelajaran?
(Sudjana 2008:37-39)
Karakteristik siswa mempunyai hubungan
positif dengan hasil pembelajaran. Artinya, semakin baik karakteristik siswa
maka hasil belajar akan cenderung semakin baik atau meningkat. Sebaliknya,
karakteristik siswa yang tidak baik akan menyebabkan hasil belajar tidak baik
atau menurun. Misal, perbedaan
intelegensi yang merupakan modal utama dalam belajar untuk mencapai hasil yang optimal. Setiap siswa
memiliki tingkat intelegensi yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut
tampak dari proses dan hasil belajar yang dicapai. Pada proses belajar di
kelas, ada siswa yang cepat menerima penyampaian guru dan ada yang lamban.
Tinggi rendah hasil belajar tergantung pada tinggi rendah intelegensi yang
dimiliki, walaupun intelegensi bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi
hasil belajar.
Persoalan hasil pembelajaran merupakan
hal yang tidak dapat dihindari dalam proses pembelajaran dan tidak dapat
ditolak. Persoalan – persoalan tersebut merupakan tantangan bagi sekolah untuk
mengelolanya dengan baik. Harus ada sistem yang baik dan handal. Pengelolaan
pendidikan pada tingkat satuan pendidikan harus memperhatikan komponen-komponen
pendidikan. Lebih khusus kesiapan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan
lainnya yang menunjang proses pembelajaran. Seleksi penerimaan guru harus
ketat, penyelenggaraan diskusi, diklat, workshop, MGMP, dan sebagainya menjadi
keharusan. Guru harus benar-benar
memiliki kualifikasi dan kompetensi minimal yang dipersyaratkan.
Kurikulum tingkat satuan pendidikan
harus operasional dan sesuai dengan dinamika masyarakat dan perkembangan zaman.
Kurikulum harus memperhatikan segala aspirasi masyarakat, tuntutan zaman, dan
prediksi pada masa yang akan datang. Kelemahan dari kurikulum yang disusun oleh
satuan pendidikan adalah bahwa masih banyak satuan pendidikan yang menyusun
kurikulum dengan cara copy paste dari kurikulum satuan pendidikan lain. Padahal
kurikulum merupakan rel proses pendidikan pada satuan pendidikan, sehingga
penyusunannya harus melibatkan pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan.
Fasilitas dan lingkungan pendidikan
merupakan komponen yang tidak kalah penting dari komponen yang lainnya.
Keberadaan fasilitas pembelajaran seperti ruang belajar, perpustakaan,
laboratorium, tempat bermain, multimedia, dan lain-lain harus cukup memadai
agar pembelajaran dapat berjalan dengan baik.
Produk pendidikan kita dirasakan sangat
jauh dari pencapaian target ketiga aspek hasil pembelajaran, baik secara
kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Secara kognitif, tampak jelas para
lulusan tidak siap untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi
atau terjun ke lapangan kerja, sehingga memunculkan kolusi dan nepotisme baik
pada penerimaan siswa/mahasiswa maupun penerimaan pegawai. Secara afektif,
banyak lulusan sekolah kita yang tidak menerapkan etika pergaulan yang baik, di
antaranya tawuran, pengangguran, kriminalitas, dan lain-lain. Secara
psikomotorik, tampak jelas bahwa lulusan sekolah kita tidak mempunyai keterampilan
yang dibutuhkan untuk berkarya dalam hidupnya. Keterampilan yang dimiliki
lulusan justru lebih banyak diperoleh di lembaga-lembaga kursus, privat, atau
bahkan setelah lulusan berada di dunia kerja.
Kenyataan
bahwa kualitas pendidikan yang diperoleh masyarakat minim sehingga menghasilkan
sumber daya manusia (SDM) yang berdaya saing rendah, seharusnya lebih memacu
pemerintah untuk memprioritaskan pendidikan sebagai program utama perbaikan
Negara. Pemerintah seharusnya lebih tergerak untuk memfasilitasi peningkatan
pendidikan dan menggerakkan masyarakat untuk memperoleh pendidikan berkualitas.
Beban angka pengangguran yang sangat tinggi di Indonesia akan semakin bertambah
karena daya saing SDM Indonesia yang rendah. Investasi dari luar negeri pun
akan menurun karena kualitas pendidikan minim, sehingga upah para tenaga kerja
pun sangat rendah. Dampak yang lebih memprihatinkan akibat rendahnya daya saing
SDM Indonesia adalah terjadinya kebangkrutan Negara saat pemberlakuan pasar
bebas globalisasi.
Perhatian
ekstra Pemerintah pada bidang pendidikan di Indonesia masih minim. Pendidikan
belum menjadi prioritas utama. Sehingga fasilitas yang diberikan Pemerintah
sampai sekarang masih minim. Pada awal reformasi bergulir, ada secercah harapan
pendidikan di Indonesia menjadi perhatian utama dengan dikeluarkannya
Undang-Undang No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal
49 ayat (1) menyatakan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya
pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari anggaran pendapatan belanja
nasional (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari anggaran pendapatan
dan belanja daerah (APBD). Namun anggaran pendidikan tersebut dipergunakan
untuk kepentingan yang lebih banyak meliputi kebutuhan biaya untuk kualifikasi
akademik guru menjadi minimal strata satu, tunjangan-tunjangan guru, biaya
investasi rehabilitasi gedung yang rusak, pengadaan sarana pendidikan dan
peningkatan pelayanan pendidikan. Semakin minimnya anggaran pendidikan yang
dialokasikan Pemerintah mengakibatkan masyarakat kembali harus memikul beban
biaya operasional pendidikan yang tidak sedikit untuk memenuhi semua kebutuhan
yang mendukung terwujudnya pendidikan bermutu. Kondisi ini cenderung berakibat
pada terbatasnya akses pendidikan untuk semua kalangan masyarakat, terutama
kalangan masyarakat kurang beruntung, angka putus sekolah meningkat, presatasi
belajar peserta didik cenderung sulit diperbaiki, dan sebagainya.
Persoalan
minimnya kualitas pendidikan dan rendahnya daya saing SDM Indonesia semakin
serius. Beban hidup masyarakat semakin berat dan beban Negara semkain
bertambah. Padahal kualitas unggul SDM Indonesia agar berdaya saing tinggi
sangat mendesak dibutuhkan. Jika pendidikan tidak juga menjadi prioritas utama
maka bukannya tidak mungkin kualitas pendidikan semakin terabaikan, banyaknya
keberadaan SDM tidak kompetitif, dan kesejahteraan masyarakat tidak dapat
diwujudkan. Pada akhirnya cita-cita pembangunan nasional untuk mencerdaskan
bangsa dan menyejahterakan rakyat secara keseluruhan semakin sulit dicapai.
Selain
masalah prioritas dan anggaran, sistem penjaminan mutu pendidikan di Indonesia
terutama pendidikan tinggi sekarang ini masih bersifat
insidental/sporadis/tidak berkelanjutan dan pada umumnya tidak dilakukan dengan
kesadaran penuh. Akibatnya, strategi penjaminan mutu yang dilakukan pemerintah,
di antaranya penetapan pedoman penjaminan mutu pendidikan tinggi dari Ditjen
Dikti belum sepenuhnya berhasil meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di
Indonesia. Kondisi ini sebagai akibat langsung dari sentralisasi pengelolaan
pendidikan tinggi yang selama ini dilakukan. Di mana sebagian besar masyarakat
bahkan pengelola perguruan tinggi masih berpandangan, suatu program studi
dianggap bermutu hanya jika mendapat pengakuan dari Pemerintah atau badan
akreditasi yang diselenggarakan Pemerintah. Oleh karenanya sistem penjaminan
mutu pendidikan khususnya pendidikan tinggi perlu diperbaiki pengeloalaannya,
serta masyarakat dan pengelolan lembaga pendidikan perlu disadarkan dan
diarahkan untuk mengembangkan pendidikan yang bermutu dan dapat berdaya saing
di pasar internasional. Cita-cita mencedaskan bangsa dapat terwujud jika
Pemerintah memprioritaskan pendidikan sebagai program utama dengan
bersungguh-sungguh memfasilitasi operasional pendidikan, pengelola lembaga
pendidikan melaksanakan tugas mendidik dan transfer ilmu secara terarah dan
terencana, dan masyarakat secara sadar dan mandiri mampu mengkases pendidikan
untuk meningkatkan kualitas produktivitasnya sendiri. Situasi persaingan global
saat ini, kesadaran akan kualitas harus ditanamkan secara dini kepada
masyarakat. Karena dalam situasi persaingan yang semakin ketat ini, sumber daya
makin terbatas, perkembangan teknologi maupun perilaku konsumen yang berubah
dengan cepat, maka kualitas menjadi senjata dalam memenangkan persaingan.
Kita adalah salah satu hasil dari
pendidikan di Indonesia, bangsa ini berharap agar hasil pendidikan dari
Indonesia dapat menjadikan negara kita menjadi negara maju dan memiliki sumber
daya manusia yang kreatif dan inovatif. Tapi kenyataannya, mengapa masih banyak
hasil dari pendidikan ini menyalahgunakan keahlian dan kemampuan yang dia
peroleh semasa bersekolah dulu, di sekolah selalu diajarkan kejujuran,
kerjasama yaitu dalam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, juga kita belajar
menghitung, menjumlah, mengali, dan sebagainya, juga diajarkan pengenalan
bangsa ini melalui geografinya dan mata pelajaran lain yang kelak bermanfaat
untuk nanti membangun negara ini.
Dan kenyataannya pula semakin banyak
hasil pendidikan yang dicetak maka mengapa semakin banyak pula penggangguran
yang ada di Indonesia ? Dan mengapa semakin tinggi pula tingkat korupsi di
Indonesia dan yang melakukannya adalah oknum-oknum hasil dari pendidikan yang
selama ini bisa jadi kita banggakan ? Semoga kita akan selalu menjadi hasil
pendidikan yang terbaik paling tidak dapat memberi manfaat bagi orang-orang
terdekat kita untuk selalu berkreasi dan berinovasi.
DAFTAR
PUSTAKA
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003.
Kepmendiknas
nomor 044/U/2002.
Arikunto,
Suharsimi. 2009. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Ihsan,
Fuad. 1996. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Khodijah,
Nyayu. 2011. Psikologi Pendidikan. Palembang: Grafika Telindo Press.
Muslich,
Masnur. 2009. Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta:
Bumi Aksara.
Purwanto,
Ngalim. 1995. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Purwanto.
2009. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sudijono,
Anas. 2008. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. RajaGradindo
Persada.
Sudjana,
Nana. 2008. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru
Algensindo.
Tirtarahardja,
Umar, S. L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
dapat diunduh di sini!
No comments:
Post a Comment