Ahlan Wasahlan

Assalamu'alaikum Warohmatullohi Wabarokatuhu
!!!SELAMAT DATANG!!!
"Tuhan Selalu Memberikan yang Terbaik untuk Hamba-Nya."


Tuesday, October 23, 2012

Problematika Pendidikan di Indonesia


PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI INDONESIA

1.      Sistem Pendidikan dan Persoalan Ujian Nasional
Pemerintah telah memberikan perhatian serius terhadap pendidikan di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan telah disahkan dan diberlakukan peraturan perundang-undangan antara lain:
a.       Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
b.      Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
c.       Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
d.      Peraturan-Peraturan Menteri Pendidikan Nasional dan Menteri Agama yang mengatur tentang pelaksanaan pendidikan di Indonesia.
Sebagai suatu sistem, pendidikan di Indonesia sudah jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Sistem pendidikan di Indonesia sudah diatur dalam Sistem Pendidikan Nasional. Sistem pendidikan nasional sebagai suatu dasar pelaksanaan pendidikan di Indonesia dengan sistematis telah mengatur semua hal yang berkaitan dengan pendidikan. Sistem pendidikan nasional mengatur tentang:
a. Dasar, fungsi, dan tujuan
b. Prinsip penyelenggaraan
c. Hak dan kewajiban orang tua, masyarakat, dan pemerintah
d. Peserta didik
e. Jalur, jenjang, dan jenis pendidikan
f. Bahasa pengantar
g. Wajib belajar
h. Standar nasional pendidikan
i. Kurikulum
j. Pendidik dan tenaga kependidikan
k. Sarana dan prasarana pendidikan
l. Pendanaan pendidikan
m. Pengelolaan pendidikan
n. Peran serta masyarakat
o. Evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi
p.Pendirian satuan pendidikan
q. Penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga negara lain
r. Pengawasan pendidikan
Dengan aturan yang jelas, pemerintah selalu melakukan perubahan dan perbaikan dunia pendidikan di Indonesia, terutama pada sistem pengelolaan mutu pendidikan. Namun, upaya pemerintah dalam meningkatkan pengelolaan mutu pendidikan mengalami hambatan, yaitu dengan penyelenggaraan Ujian Nasional (UN) yang masih saja menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat, mulai dari siswa, orang tua, praktisi dan pengamat pendidikan. Semua memprotes dan tidak setuju dengan penyelenggaraan UN. Berbagai keberatan yang dilontarkan terhadap penyelenggaraan UN bukan tanpa alasan. Para kalangan tersebut memiliki alasan masing-masing seperti: siswa merasa tertekan dan cemas berlebihan karena takut tidak lulus; para orang tua merasa khawatir dengan nasib dan masa depan siswanya; para praktisi pendidikan (tenaga kependidikan) merasakan penyelenggaran UN menimbulkan diskriminasi terhadap sejumlah mata pelajaran; para pengamat dan akademisi menilai UN tidak sesuai dengan prinsip-prinsip evaluasi pendidikan dan mengesampingkan aspek pedagogis dalam pendidikan. Namun demikian, meskipun hampir semua komponen menolaknya. Pemerintah tetap berjalan dengan rencananya untuk menyelenggarakan UN.
Pemerintah seakan tidak mendengar dan tidak peduli dengan berbagai argumentasi yang dikemukakan oleh masyarakat luas. Upaya untuk mendorong motivasi belajar siswa dan meningkatkan kualitas pendidikan menjadi alasan yang dilontarkan oleh Pemerintah untuk tetap menyelenggarakan UN.
Kepedulian terhadap kualitas proses dan hasil pendidikan menjadi perhatian yang serius. Berdasarkan kajian teoritik dan fakta empirik tampak jelas bahwa UN berdampak negarif terhadap kualitas proses dan hasil pendidikan. Apabila kondisi ini terus berlanjut dikhawatirkan kualitas pendidikan akan semakin merosot dan tujuan pendidikan nasional akan sulit untuk diwujudkan, dan pada akhirnya kondisi masyarakat dan bangsa ini tidak akan pernah berubah, terus berada dalam keterpurukan. Filsafat pendidikan mengatakan bahwa ”the end of education is character”. Artinya, keberhasilan pendidikan diukur dari karakter siswa yang terbentuk sesuai dengan tingkat pendidikannya. Ada sifat-sifat (karakter) yang harus dimiliki lulusan SD, SMP, SMA, SMK dan perguruan tinggi. Karakter itu sesuai dengan tuntutan filsafat, dalam hal ini filsafat pendidikan Indonesia yakni Pancasila. Akan tetapi kebijakan pendidikan di Indonesia menetapkan bahwa keberhasilan pendidikan ditetapkan berdasarkan hasil UN. Ini sebuah kekeliruan yang mendasar. Penilaian hasil belajar adalah sebagian kecil dari apa yang menjadi tujuan aktivitas pendidikan di sekolah. Kebijakan tentang UN menunjukkan terjadi pengerdilan konsep pendidikan di Indonesia dari yang seharusnya membangun karakter siswa bangsa menjadi hanya lulus UN. Sungguh sebuah ironi yang menyedihkan. Kekeliruan seperti ini hampir mencakup seluruh kebijakan pendidikan, paling tidak ada dua indikator utama karakter keberhasilan pendidikan di sekolah yakni:
a.       Karakter terpelajar, dan
b.      Karakter terdidik.
Indikator karakter tersiswa dapat dilihat dari kebiasaan belajar yang terbangun dalam diri siswa. Karakter ini memberi gambaran sosok pribadi dengan kebiasaan tiada hari tanpa belajar. Eager to learning (penggemar belajar) menjadi sesuatu yang amat penting dalam hidupnya. Indikator kedua, yakni karakter terdidik, pribadi yang memiliki sifat-sifat baik, sebagai warga negara, ataupun anggota masyarakat. Dari dalam dirinya terus mengalir energi kebaikan, yang mendorong orang lain pun menjadi lebih baik. Sayangnya, kedua indikator ini tidak pernah bisa diukur dengan UN. Jadi ukuran keberhasilan di sekolah bukan hanya nilai UN, yang hanya sebagian kecil aktivitas belajar, bahkan tidak bisa disebut sebagai indikator karakter dan indikator kelulusan seorang siswa.
Lebih lanjut penyelenggaraan UN akan memunculkan persaingan antar daerah untuk mencapai hasil UN yang maksimal. Atmosfer persaingan antar daerah dalam mencapai hasil UN inilah yang dianggap telah memicu terjadi berbagai bentuk ”anomali” pelaksanaan UN. Setiap sekolah ditarget harus memperoleh nilai rata-rata UN dan tingkat kelulusan sesuai keinginan pejabat. Karena dihantui rasa takut mendapatkan teguran dan amarah, tak jarang pihak sekolah melakukan kecurangan dengan membantu siswa didiknya dengan berbagai cara ketika UN berlangsung agar target yang ditetapkan bisa terpenuhi. UN seharusnya perlu dimaknai sebagai upaya untuk melakukan pemetaan mutu pendidikan secara nasional. Agar ketimpangan antar daerah tak semakin melebar, seharusnya ada upaya serius untuk memantau dan memberikan perhatian khusus kepada sekolah/daerah yang masih rendah hasil UN-nya. Mereka perlu dipermudah dalam mendapatkan akses informasi dan subsidi dari pemerintah. Di sisi lain banyak orang yang mengkhawatirkan penyelenggaraan UN karena kualitas sangat beragam, fasilitas, dan perlakuan yang diperoleh ratusan ribu sekolah di negeri beribu pulau ini, maka angka itu tergolong berat untuk mayoritas siswa yang berada di daerah. Kemudian kelompok siswa seperti ini berpotensi menjadi korban berikutnya dari kebijakan UN ini. Mereka bisa kehilangan masa depan mereka, karena gagal memenuhi syarat kelulusan minimal. Dampak dari penyelenggaraan UN itu juga berimbas pada sekolah yang sekarang ini mempraktekkan apa yang disebut dengan teaching to the test, yaitu sebuah aktifitas pengajaran yang memfokuskan pembelajaran pada usaha membiasakan siswa didik mengenali dan familiar dengan bentuk soal UN, dan mengajarkan bagaimana strategi menjawab soal dalam tempo sesingkat-singkatnya. Dengan kata lain, ketika guru menyesuaikan proses pembelajarannya dengan UN, dengan kata lain pembelajaran di sekolah sekarang tidak jauh berbeda dengan apa yang sering ditemukan di dalam bimbingan belajar yang lebih memfokuskan siswa-siswa mereka membahas soal-soal UN, terutama pada siswa kelas X dan XII. Dengan demikian idealisme pengajaran yang humanis dan berusaha mengembangkan tiga ranah pendidikan (koginitif, afektif, dan psikomotor) secara seimbang dalam suasana belajar yang kreatif, inovatif, dan dinamis sebagaimana tertulis dalam kurikulum akan menjadi terpinggirkan. Beranjak dari hal tersebut perlu ada perbaikan sistem pengelolaan mutu pendidikan di Indonesia dengan mengkaji penyelenggaraan UN sehingga tidak hanya mengacu pada kelulusan siswa semata.
Siswa Beradu Keuntungan dalam Mengikuti UN
Banyak juga siswa yang menjadi tidak bersemangat hanya karena tidak lulus UN. Padahal, UN bukanlah satu-satunya jalan untuk mengukur kemampuan. Sangat tidak manusiawi jika UN sebagai tolak ukur keberuntungan siswa dalam mencoret lembaran soal dalam hitungan menit. Selain itu, sangat tidak rasional juga ketika proses mengukur kemampuan hanya berlangsung rata-rata dua jam dengan ketegangan yang tidak bisa dihindari oleh siswa. Dan pada saat yang bersamaan tersebut semua siswa di seluruh penjuru negeri ini sedang diuji dengan materi yang sama. Padahal, kemampuan masing-masing siswa pasti berbeda-beda. Bayangkan bila seorang siswa mendapatkan nilai yang sangat bagus pada beberapa mata pelajaran yang di-UN-kan tetapi mendapat nilai yang di bawah standar pada satu mata pelajaran tersebut, berarti siswa tersebut dapat dikatakan tidak lulus UN. Haruskah ia mengulangi belajar selama setahun lagi dengan materi-materi yang membosankan? namun jangan dianggap bahwa siswa yang tidak lulus adalah siswa yang bodoh. Nilai yang ada pada siswa bukan sebatas nilai pada UN. Perlu direnungkan sekali lagi, UN telah membuat banyak siswa merasa tertekan, depresi, bahkan akan memengaruhi kecemasan psikologis siswa.
Bagaimanapun penyelenggaraan UN di Indonesia akan menimbulkan dampak negatif dan positifnya. Adapun dampak negatif dari penyelenggaraan UN antara lain:
(1) membuat siswa menghalalkan segala cara untuk lulus UN, dan bahkan sarat dengan pengaduan nasib (beruntung dan tidak beruntung) karena adakalanya siswa yang pintar di kelas dan sering mendapat juara akan tidak lulus UN dan sebaliknya. UN telah membuat para siswa, guru, dan orang tua merasa tertekan, dan stress. Rasa tertekan di kalangan siswa dan guru itu biasanya lebih parah terjadi di sekolah yang lokasinya jauh dari  perkotaan (daerah terpencil). Hal ini mudah dipahami karena disparitas kualitas pengajaran antara sekolah di daerah urban (perkotaan) dengan daerah rural (perkampungan) masih menjadi problema dunia pendidikan Indonesia yang sampai hari ini yang belum terselesaikan. Maka, ketika standar kelulusan UN menuntut sama untuk semua siswa, tanpa mempertimbangkan objektifitas kualitas pengajaran di sekolah, maka jelas para siswa, guru, dan juga orang tua di daerah terpencil akan merasa tertekan, stress, takut, dan bahkan putus asa perihal kelulusan mereka pada UN. Kecemasan seperti inilah kemudian yang membuat sebagian (besar) dari siswa tergoda untuk mencari short cut, jalan pintas untuk menembus batas nilai minimal kelulusan UN, dengan berlaku curang pada pelaksanaan UN. Dan cerita tentang ketidakjujuran ini telah menjadi ’kisah sedih tahunan’ pasca pelaksanaan UN di negeri ini. Ya, setiap tahun selalu terdengar dan terlihat di berbagai media tentang parodi ketidakjujuran itu dipertontonkan oleh sebagian insan pendidikan. Sebuah kisah ketidakjujuran yang membuat wajah pendidikan nasional semakin buram.
(2) sepintar apapun siswanya, jika mental sedang tidak kuat saat mengikuti UN, maka siswa tersebut tidak akan lulus.
(3) mata pelajaran yang tidak ikut dalam UN dianaktirikan, dalam arti UN juga berpotensi menyempitkan kurikulum sekolah (curriculum narrowing) dan mendegradasi arti penting mata pelajaran tertentu, karena UN selama ini hanya menguji mata pelajaran tertentu. Pemilihan beberapa mata pelajaran saja yang diujikan di UN bisa misleading, karena secara tak langsung merefleksikan bahwa mata pelajana non UN adalah ’kurang penting’. Padahal seseorang siswa didik tidak bisa hidup hanya dengan beberapa mata pelajaran yang di-UN-kan saja. Karena di dunia sebenarnya, seseorang mesti punya multi skill untuk bisa sukses dalam hidup.
(4) dalam pendidikan sekarang ini menyangkut 3 aspek yaitu (kognitif, afektif,dan psikomotorik), sedangkan dalam UN hanya menyangkut aspek kognitif saja bahkan prestasi dan kelulusan siswa dipertaruhkan hanya beberapa jam saja. UN yang menggunakan bentuk soal multiple choise hanya akan dapat mengukur hasil belajar pada ranah kognitif, tingkatan berpikir yang mampu terukur melalui bentuk soal MC (multiple choise) hanya sampai pada tingkat berpikir aplikasi. Kondisi seperti ini mendorong para siswa belajar dengan menghafal. Belum lagi, ranah afektif dan psikomotorik yang merupakan bagian dari tujuan pembelajaran yang juga harus diukur ketercapaiannya, tidak dilakukan. Sulit diharapkan dapat diukur dengan menggunakan UN, yang sifatnya masal dan dilakukan dalam waktu yang sangat terbatas. Sekali lagi kondisi ini akan berakibat pada pembelajaran di sekolah hanya pada pengembangan kecerdasan intelektual, sementara kecerdasan lainnya (multiple intelegence Gardner) akan tidak mendapatkan perhatian yang memadai.
(5) Selama ini hasil UN dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa. Proses belajar yang dilakukan siswa selama 3 tahun, nasibnya ditentukan oleh hasil ujian yang dilakukan beberapa jam saja. Ketidaklulusan siswa dalam UN bisa jadi bukan karena faktor ketidakmampuannya menguasai materi pelajaran, tetapi karena faktor kelelahan mental (mental fatique), karena stres pada saat mengerjakan ujian atau karena kesalahan pengukuran yang biasa terjadi pada setiap tes (false negative). Ketidakadilan juga bisa dilihat dari proses pembelajaran yang dialami siswa di satu sekolah dengan sekolah lainnya yang jauh berbeda. Para siswa yang mengikuti proses pembelajaran dengan situasi dan kondisi yang sangat jauh berbeda diuji dengan cara dan alat yang sama. Di satu sisi, siswa belajar di sekolah yang memiliki fasilitas yang lengkap dan dilayani oleh SDM yang jumlah dan kualitasnya sangat memadai. Jelas, hasil belajar siswa yang belajar di sekolah seperti ini, sangat mungkin mencapai hasil yang optimal. Namun di sisi lain, di sekolah ’nan jauh di sana’, sebagian besar siswanya menjalani proses pembelajaran yang serba seadanya. Bahkan gedungnya pun hampir roboh. Bagaimana mungkin para siswanya dapat belajar dengan baik untuk mendapatkan hasil belajar dengan nilai yang baik dengan kondisi seperti itu.
(6) untuk mempersiapkan para siswanya menghadapi dan mengerjakan soal-soal UN, para guru biasanya menggunakan metode pembelajaran drill, di mana para siswa dilatih untuk mengerjakan sejumlah soal yang diduga akan keluar dalam ujian. Melalui metode ini guru mengharapkan para siswa terbiasa menghadapi soal ujian dan menguasai teknik-teknik dan trik mengerjakan soal yang dihadapi. Pembelajaran dengan model ini jelas tidak bermakna, karena apa yang dipelajari bersifat mekanistik, bukan pada penguasaan konsep yang esensial. Pembelajaran seperti ini tidak dapat mengembangkan kemampuan berpikir dalam memecahkan masalah, yang menjadi indikator kecerdasan sebagaimana yang diharapkan dicapai melalui pembelajaran.
Sedangkan dampak positif penyelenggaraan UN antara lain:
(1) dapat melihat pemetaan pendidikan,
(2) dapat melihat kemampuan siswa,
(3) menjadikan siswa untuk lebih giat belajar, tetapi hanya dalam mata pelajaran tertentu,
(4) dari pihak tenaga pendidik lebih giat lagi dalam mendidik siswanya yang dapat dilihat dengan memberikan pemantapan dan jam tambahan untuk mata pelajaran tertentu
Penyelenggaraan UN secara Ideal
Mencermati perdebatan UN, maka perlu ada kajian komprehensif, baik menyangkut aspek akademis/pedagogis, yurudis formal, maupun kajian empirik. Hal ini penting agar peran dan fungsi ujian berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan penyelenggaraan evaluasi dalam suatu proses pembelajaran. UN seharusnya dilakukan untuk mengukur ketercapaian tujuan pendidikan nasional. Untuk itu diperlukan instrumen evaluasi yang variatif dan komprehensif; tidak cukup hanya dengan menggunakan instrumen evaluasi dalam bentuk tes tetapi juga diperlukan dalam bentuk non-tes. Karena evaluasi dalam bentuk tes hanya dapat mengukur penguasaan pengetahuan yang masuk dalam ranah kognitif. Demikian pula bila  dikaji dari sudut pandang yuridis formal. UU Sisdiknas menjelaskan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Hal ini menunjukkan bahwa pendidik bertugas mengevaluasi proses dan hasil belajar, sedangkan pemerintah bertugas mengevaluasi pengelolaannya, baik pada satuan jalur, jenjang maupun jenis pendidikannya serta UN tidak lagi dijadikan penentu kelulusan, akan tetapi sebagian kecil dari sistem penilaian pendidikan. UN tidak dapat menjadi penentu peningkatan mutu pendidikan.
UN hendak didesain sebagai ”starting point” peningkatan mutu pendidikan, harus ada perubahan mendasar tentang sistem dan mekanismenya, antara lain:
Pertama, dalam penentuan kelulusan diserahkan sepenuhnya kepada sekolah dengan menggunakan rambu-rambu dan standar kelulusan secara nasional. Harus ada pemantauan sistemik terhadap proses penilaian kompetensi siswa secara jujur, fair, dan objektif, sehingga tak memungkinkan sekolah untuk melakukan manipulasi penilaian.
Kedua, kualitas soal UN harus benar-benar valid sehingga mampu membedakan siswa yang berotak cemerlang dan siswa yang berotak pas-pasan. Jangan sampai siswa-siswa cerdas justru terbonsai dan harus jadi tumbal pendidikan akibat soal UN yang diragukan mutunya. Sebaliknya, siswa yang kehilangan etos belajar dan bermental pemalas justru termanjakan dengan mendapatkan hasil UN yang bagus dan memuaskan.
Ketiga, harus ada sinkronisasi antara kurikulum yang teraplikasikan dalam kegiatan pembelajaran dan sistem UN yang dilaksanakan. Selama ini, UN terkesan menjadi sebuah entitas yang terlepas dari kurikulum. Menjelang UN, siswa tak pernah mendapatkan layanan pendidikan yang inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan, lantaran siswa hanya dilatih untuk menjadi penghafal kelas wahid.
Dilihat dari aspek akademis-pedagogis, yuridis formal, maupun pengalaman empiris, Ujian Negara (UN) selayaknya untuk segera ditinggalkan. UN telah membawa dampak negatif yang sangat luas terhadap penyelenggaran pembelajaran di sekolah. Proses belajar yang dialami para siswa menjadi sangat parsial, hanya mengembangkan aspek kognitif, sementara ranah afektif dan psikomotorik terabaikan. Suasana belajarnya menjadi sangat menegangkan membuat siswa cemas berlebihan, belajar dalam kondisi ’terpaksa’, dan tidak menyenangkan. Suasana belajar yang memberi peluang kepada siswa untuk bereksplorasi dan menemukan sesuatu, dan memecahkan berbagai permasalahan sulit terjadi. Berbagai inovasi tentang pendekatan dan strategi pembelajaran yang sangat baik juga sulit diimplementasikan di dalam kelas. Pemerintah hendarknya segera mempertimbangkan kembali kelanjutan penyelenggaraan UN. Dengan berbagai kecurangan yang muncul akan berdampak negatif pada perkembangan siswa dan kualitas pendidikan Indonesia. Siswa berkembang dalam suasana yang penuh kecurangan, yang sekaligus bisa menjadi pelajaran bagi siswa untuk melakukan hal yang sama. Kalau ini terjadi, sungguh merupakan suatu musibah besar bagi dunia pendidikan Indonesia.
Kesimpulan
UN sebagai suatu kegiatan evaluasi di bidang pendidikan seharusnya tidak harus diperdebatkan lagi. Perdebatan terjadi karena kekurangan dan kelemahan yang ada dalam praktik penyelenggaraan pendidikannya. Banyak ditemui bahwa delapan standar nasional pendidikan yang telah ditetapkan dalam sistem pendidikan tidak terpenuhi.
a.      Standar Isi
Diakui atau tidak banyak satuan pendidikan yang tidak mampu menyusun kurikulum satuan pendidikannya, sehingga yang dilakukan hanya mengadopsi ataupun hanya copy paste. Akibatnya antara kurikulum yang disahkan dan pelaksanaan tidak sesuai. Hal ini diperparah dengan Dinas Pendidikan dan Kementerian Agama yang dengan mudah memberikan pengesahan tanpa melakukan analisis terlebih dahulu terhadap kurikulum yang diajukan oleh satuan pendidikan. Ketidakmampuan satuan pendidikan menyusun kurikulum juga berdampak pada pengembangan kurikulum yang tidak dijalankan. Sejak disahkan pertama kali sampai bertahun-tahun berikutnya tetap saja sama.
b.      Standar Kompetensi Lulusan
Lulusan yang dihasilkan tidak memenuhi standar minimal yang ditetapkan. Lulusan yang dihasilkan hanya menambah deretan angka pengangguran, catatan kriminal, dan sosial lainnya. Lulusan harusnya menguasai kompetensi minimal pada tiga aspek, yaitu aspek kognitif (pengetahuan), aspek afektif (sikap), dan aspek psikomotorik (keterampilan).
c.       Standar Sarana dan Prasarana
Potret buram sarana prasarana pendidikan di Indonesia telah jelas menunjukkan bahwa sarana prasarana pendidikan tidak merata. Betapa banyak sekolah/madrasah dalam keadaan darurat yang tetap melaksanakan proses belajar mengajar. Sarana prasarana pendidikan yang memadai hanya berada di daerah perkotaan saja. Pemerintah kurang memperhatikan sarana prasarana pendidikan yang ada di daerah pedesaan, pegunungan, perbatasan, dan daerah-daerah terpencil lainnya.
d.      Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Wajah pendidikan Indonesia diperparah dengan keberadaan sumber daya manusia yang tidak kompetensi. Banyak dijumpai guru-guru dan tenaga kependidikan lainnya yang tidak profesional. Harus jujur diakui bahwa guru-guru kita banyak yang tidak profesional, bahkan program sertifikasi yang digulirkan pemerintah tidak ada dampak positif yang signifikan. Kinerja guru tidak lebih baik setelah memperoleh tunjangan sertifikasi.
e.       Standar Pengelolaan
Kepala sekolah/madrasah sebagai penanggungjawab pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, juga banyak yang ABS (asal bapak senang) dengan pimpinan instansi di atasnya dan tidak memperhatikan proses pendidikan di sekolah/madrasah yang dipimpinnya.
f.       Standar Proses
Proses belajar mengajar di kelas harus mengikuti langkah-langkahnya, yaitu kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup.
Selain pada karakteristik siswa, ternyata pada proses pembelajaranpun masih banyak ditemui persoalan-persoalan rumit yang mencoreng wajah pendidikan Indonesia. Persoalan-persoalan tersebut sebagaimana yang tercantum pada latar belakang masalah makalah ini. Kajian tentang persoalan-persoalan yang berkaitan dengan proses pembelajaran memerlukan pemikiran dan usaha yang sungguh-sungguh dari guru. Sebelum membahas persoalan-persoalan tersebut, berikut ini beberapa landasan teori tentang proses pembelajaran.
Menurut Tirtarahardja (2005:40):
Proses pendidikan merupakan kegiatan memobilisasi segenap komponen pendidikan oleh pendidik terarah kepada pencapaian tujuan pendidikan. Bagaimana proses pendidikan itu dilaksanakan sangat menentukan kualitas hasil pencapaian tujuan pendidikan.
Proses pendidikan harus dilaksanakan dengan memanfaatkan semua komponen yang terkait dengannya agar mencapai tujuan pendidikan yang berkualitas.
Konsep belajar dan mengajar menjadi padu dalam satu kegiatan ketika terjadi interaksi antara guru siswa atau siswa siswa dalam pengajaran yang berlangsung. Di sinilah belajar dan mengajar bermakna sebagai suatu proses pembelajaran (Sudjana 2008:28).
Proses pembelajaran akan terjadi apabila ada interaksi dan komunikasi antara guru dan siswa. Tidak semua interaksi dan komunikasi merupakan proses pembelajaran. Interaksi dan komunikasi merupakan proses pembelajaran apabila dilaksanakan dengan bimbingan guru dengan alur kegiatan dimulai dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup.
Ada empat komponen dalam proses pembelajaran, yaitu tujuan, materi atau bahan, metode dan alat, dan penilaian (Sudjana 2008:30).
Komponen proses pembelajaran menjadi hal penting yang harus diperhatikan guru agar kegiatan yang dilaksanakannya mencapai hasil sesuai dengan yang diharapkan.
Segi transformasi (proses) pendidikan meliputi: kurikulum atau materi pembelajaran, metode mengajar dan teknik penilaian, sarana atau media, sistem administrasi, guru dan unsur-unsur personal lainnya yang terlibat dalam proses pendidikan (Sudijono 1998:27).
Proses pembelajaran juga berkaitan dengan sistem administrasi dan unsur personal lainnya. Proses pembelajaran akan berjalan baik apabila didukung oleh sistem administrasi yang baik pula. Sistem administrasi akan menjadi baik apabila didukung oleh personal-personal yang kompeten sesuai dengan bidang tugasnya.
Dalam aktivitas pendidikan ada enam faktor pendidikan yang dapat membentuk pola interaksi atau saling mempengaruhi namun faktor integratirnya terutama terletak pada pendidik dengan segala kemampuan dan keterbatasannya. Keenam faktor pendidikan tersebut meliputi: faktor tujuan, faktor pendidik, faktor peserta didik, faktor isi/materi, faktor metode pendidikan, dan faktor situasi lingkungan (Ihsan 1996:7-10).
Komponen proses pembelajaran saling mempengaruhi antara satu dan lainnya. Walaupun demikian, kemampuan guru masih menjadi faktor dominan dalam pelaksanaannya. Selain guru, situasi lingkungan juga berpengaruh besar terhadap keberhasilan proses pembelajaran. Situasi yang bising, panas, dan kotor akan mengganggu proses pembelajaran. Oleh karena itu, situasi lingkungan belajar harus dikondisikan setenang dan senyaman mungkin agar proses pembelajaran dapat berlangsung dengan lancar.
Selain faktor pendekatan, masih banyak faktor lain yang ikut menentukan keberhasilan proses pembelajaran, antara lain kurikulum, program pengajaran, kualitas guru, materi, strategi, sumber belajar, dan teknik penilaian (Muslich 2009:40).
Ada faktor pendekatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru yang turut menentukan keberhasilan proses pembelajaran. Pendekatan yang dilakukan harus lebih berpihak kepada siswa, artinya pendekatan tersebut lebih menyentuh ke siswa, lebih menempatkan siswa sebagai pelaku belajar, sedangkan guru hanya sebagai motivator, fasilitator, dan organisator.
Setidaknya ada empat komponen yang harus terintegrasi dalam proses pembelajaran, yaitu tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, metode dan alat pembelajaran, dan penilaian pembelajaran. Tujuan pembelajaran harus dirumuskan secara operasional oleh guru agar hasilnya dapat diukur. Agar hasil pembelajaran tersebut dapat diukur, maka setiap tujuan pembelajaran harus ditentukan pula indikator-indikator pembelajarannya. Materi pembelajaran dipilih sesuai dengan tujuannya. Materi-materi yang tidak sesuai dengan tujuan harus dihindari. Guru juga harus terampil memilih metode pembelajaran yang sesuai dengan materi, metode pembelajaran sebaiknya bervariasi dengan menggunakan media pembelajaran yang tepat. Instrumen penilaian penting disusun setelah guru menetapkan tujuan, materi, metode dan alat pembelajaran. Hal yang harus diperhatikan oleh guru adalah bahwa antara tujuan, materi, metode dan alat, serta penilaian harus ada kesesuaian dan keterkaitan.
Khodijah (2011:199): ”Suatu pembelajaran dikatakan berhasil bila mencapai hasil yang diharapkan.” Keberhasilan suatu proses pembelajaran dapat diukur dari pencapaian tujuannya. Tujuan pembelajaran yang merupakan hasil yang diharapkan dapat dilihat atau diukur melalui indikator-indikatornya. Apabila indikator-indikator tersebut tercapai maka dapat dikatakan bahwa proses pembelajaran berhasil.
Untuk mengukur proses pembelajaran dapat dikaji melalui beberapa persoalan sebagai berikut:
a.    Apakah guru merencanakan dan mempersiapkan pembelajaran melibatkan siswa secara sistematik?
b.    Apakah guru memotivasi siswa untuk belajar sehingga siswa dengan penuh kesadaran, kesungguhan dan tanpa paksaan?
c.    Apakah guru menempuh beberapa kegiatan belajar dengan menggunakan multi metode dan multi media?
d.   Apakah siswa mempunyai kesempatan untuk mengontrol dan menilai sendiri hasil belajar yang dicapainya?
e.    Apakah proses pembelajaran dapat melibatkan semua siswa dalam kelas?
f.     Apakah suasana pembelajaran cukup menyenangkan dan merangsang siswa belajar?
g.    Apakah kelas memiliki sarana belajar yang cukup kaya, sehingga menjadi laboratorium belajar? (Sudjana 2008:35-37)
Pengkajian terhadap pengukuran proses pembelajaran dapat dilakukan dengan memperhatikan perencanaan dan persiapan pembelajaran melibatkan siswa, motivasi belajar siswa, penggunaan multimetode dan multimedia, penilaian melibatkan siswa, pembelajaran melibatkan semua siswa, pembelajaran menyenangkan, dan kecukupan sarana belajar.
Persoalan-persoalan dalam proses pembelajaran tidak akan terjadi apabila guru menguasai kompetensi yang harus dimiliki, yaitu: kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi pribadi, dan kompetensi sosial. Proses pembelajaran tidak berjalan dengan baik, dikarenakan guru tidak menguasai sepenuhnya kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional. Guru tidak membuat perencanaan yang matang tentang pembelajaran yang akan dilaksanakannya. Guru tidak menguasai metode pembelajaran dengan baik. Guru tidak menguasai karakteristik siswa. Guru melaksanakan pembelajaran sekenanya saja, tanpa memperhatikan komponen-komponen proses pembelajaran. Tidak sedikit ditemui guru yang sama sekali tidak kompeten dalam profesinya sebagai guru, seperti guru Pendidikan Agama Islam yang tidak mampu tulis baca Al-Qur’an dengan lancar. Bagaimana mungkin akan mengajarkan Pendidikan Agama Islam, bila guru sendiri tidak mampu tulis baca Al-Qur’an? Belum lagi ditambah dengan ketidakmampuan guru menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), guru hanya menggunakan metode ceramah dalam proses pembelajarannya, belum lagi ditambah dengan fasilitas pendidikan yang tidak memadai.
Selain sisi guru, ada hal lain yang berhubungan erat dengan proses pembelajaran, yaitu karakteristik siswa. Perbedaan karakteristik siswa menyebabkan perbedaan dalam pola belajar siswa. Di sinilah diperlukan peran guru untuk mengkondisikan proses pembelajaran dengan memperhatikan keanekaragaman karakteristik siswa tersebut.
g.      Standar Penilaian
Tahapan pelaksanaan evaluasi proses pembelajaran adalah penentuan tujuan, menentukan desain evaluasi, pengembangan instrumen evaluasi, pengumpulan informasi/data, analisis dan interpretasi dan tindak lanjut.
1. Menentukan tujuan
Tujuan evaluasi proses pembelajaran dapat dirumuskan dalam bentuk pernyataan atau pertanyaan. Secara umum tujuan evaluasi proses pembelajaran untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) Apakah strategi pembelajaran yang dipilih dan dipergunakan oleh guru efektif, (2) Apakah media pembelajaran yang digunakan oleh guru efektif, (3) Apakah cara mengajar guru menarik dan sesuai dengan pokok materi sajian yang dibahas, mudah diikuti dan berdampak siswa mudah mengerti materi sajian yang dibahas,  (4) Bagaimana persepsi siswa terhadap materi sajian yang dibahas berkenaan dengan kompetensi dasar yang akan dicapai, (5) Apakah siswa antusias untuk mempelajari materi sajian yang dibahas, (6) Bagaimana siswa mensikapi pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru, (7) Bagaimanakah cara belajar siswa mengikuti pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru.
2.  Menentukan desain evaluasi
Desain evaluasi proses pembelajaran mencakup rencana evaluasi proses dan pelaksana evaluasi. Rencana evaluasi proses pembelajaran berbentuk matriks dengan kolom-kolom berisi tentang: no. urut,  informasi yang dibutuhkan, indikator, metode yang mencakup teknik dan instrumen, responden dan waktu. Selanjutnya pelaksana evaluasi proses adalah guru mata pelajaran yang bersangkutan.
3.  Penyusunan instrumen evaluasi
Instrumen evaluasi proses pembelajaran untuk memperoleh informasi deskriptif dan/atau informasi judgemental dapat berwujud: (1) Lembar pengamatan untuk mengumpulkan informasi tentang kegiatan belajar siswa dalam mengikuti pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru dapat digunakan oleh guru sendiri atau oleh siswa untuk saling mengamati, dan (2) Kuesioner yang harus dijawab oleh siswa berkenaan dengan strategi pembelajaran yang dilaksanakan guru, metode dan media pembelajaran yang digunkan oleh guru, minat, persepsi siswa tentang pembelajaran untuk suatu materi pokok sajian yang telah terlaksana.
4.  Pengumpulan data  atau informasi
Pengumpulan data atau informasi dilaksanakan secara obyektif dan terbuka agar diperoleh informasi yang dapat dipercaya dan bermanfaat bagi peningkatan mutu pembelajaran. Pengumpulan data atau informasi dilaksanakan pada setiap akhir pelak- sanaan pembelajaran untuk materi sajian berkenaan dengan satu kompetensi dasar dengan maksud guru dan siswa memperoleh gambaran menyeluruh dan kebulatan tentang pelaksanaan pembelajaran yang telah dilaksanakan untuk pencapaian penguasaan satu kompetensi dasar.
5.  Analisis dan interpretasi
Analisis dan interpretasi hendaknya dilaksanakan segera setelah data atau informasi terkumpul. Analisis berwujud deskripsi hasil evalusi berkenaan dengan proses pembelajaran yang telah terlaksana; sedang interpretasi merupakan penafsiran terhadap deskripsi hasil analisis hasil analisis proses pembelajaran. Analisis dan interpretasi dapat dilaksanakan bersama oleh guru dan maha- siswa agar hasil evaluasi dapat segera diketahui dan dipahami oleh guru dan maha-siswa sebagai bahan dan dasar memperbaiki pembelajaran selanjutnya.
6.  Tindak lanjut
Tindak lanjut merupakan kegiatan menindaklanjuti hasil analisis dan interpretasi. Dalam evaluasi proses pembelajaran tindak lanjut pada dasarnya berkenaan dengan pembelajaran yang akan dilaksanakan selanjutnya dan evaluasi pembelajarannya. Pembelajaran yang akan dilaksanakan selanjutnya merupakan keputusan tentang upaya perbaikan pembelajaran yang akan dilaksanakan sebagai upaya peningkatan mutu pembelajaran; sedang tindak lanjut evaluasi pembelajaran berkenan dengan pelaksanaan dan instrumen evaluasi yang telah dilaksanakan mengenai tujuan, proses dan instrumen evaluasi proses pembelajaran.
Tahapan-tahapan penilaian inilah yang tidak dilaksanakan oleh guru, guru melaksanakan evaluasi dengan sekenanya saja tanpa memperhatikan tahapan-tahapan dalam evaluasi. Evaluasi yang dilaksanakan dengan sekenanya tentu tidak akan mencapai hasil maksimal. Guru menyusun instrumen penilaian tanpa memperhatikan tujuan dan indikator pembelajaran, sehingga aspek-aspek yang seharusnya dinilai tidak dinilai.


h.      Standar Pembiayaan
Setiap kegiatan sudah pasti membutuhkan biaya, demikian pula dengan pendidikan. Program sekolah gratis dari pemerintah dirasakan justru mempersulit sekolah, khususnya sekolah-sekolah swasta. Karena dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dikucurkan pemerintah hanya habis untuk membayar honor guru, sehingga sekolah swasta tidak punya dana yang cukup untuk melakukan pengembangan sumber daya dan fasilitas pembelajaran. Bagi sekolah negeri tentu tidak akan ada masalah, karena fasilitas telah dicukupi oleh pemerintah, guru juga sudah digaji oleh pemerintah.
Secara umum, UN dengan standar kelulusannya bukanlah sesuatu yang harus ditakuti atau dijadikan sebagai polemik. Apabila semua standar nasional pendidikan terpenuhi, berapapun standar kelulusan yang ditetapkan tidak akan menjadi masalah. Selama ini, ketakutan terhadap UN menunjukkan ketidaksiapan sumber daya manusia dalam proses pendidikan. Ketidaksiapan atau mungkin ketidakmampuan inilah yang menyebabkan penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan UN tersebut.

2.      Lembaga Pendukung Pendidikan
Faktor-faktor yang saling terkait dan saling mendukung dalam proses pendidikan telah terangkum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Ada delapan standar yang harus dipenuhi oleh suatu satuan pendidikan untuk menjamin keberlangsungan dan keberlanjutan proses pendidikan, yaitu: a. standar isi, b. standar proses, c. standar kompetensi lulusan, d. standar pendidik dan tenaga kependidikan, e. standar sarana dan prasarana, f. standar pengelolaan, g. standar pembiayaan, dan h. standar penilaian pendidikan.
Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan segenap komponen masyarakat. Beberapa lembaga pendukung pendidikan yang strategis antara lain: Komite sekolah/madrasah, PGRI, Pusat Pengembangan Madrasah (PPM). Ketiga lembaga tersebut mempunyai peran dan kontribusi masing-masing sesuai dengan fungsinya.
a.    Komite madrasah
Komite Sekolah merupakan nama baru pengganti Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3). Secara substansi kedua istilah tersebut tidak begitu mengalami perbedaan, yang membedakan hanya terletak pada pengoptimalan peran serta masyarakat dalam mendukung dan mewujudkan mutu pendidikan.
Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan pra sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan di luar sekolah (kepemendiknas nomor: 044/U/2002).
Tujuan pembentukan Komite Sekolah adalah:
a.    Mewadahi dan menyalurkan aspirassi serta prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan operasional dan program pendidikan di satuan pendidikan.
b.    Meningkatkan tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
c.    Menciptakan suasana dan kondisi trasparan, akuntabel dan demokratis dalam penyelenggaraan dan pelayanan pendidikan yang bermutu di satuan pendidikan (kepemendiknas nomor: 044/U/2002).
Adapun fungsi Komite Sekolah, sebagai berikut:
a.    Mendorong penumbuhan perhatian dan komitmen masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
b.    Melakukan kerjasama dengan masyarakat (perorangan/organisasi/dunia usaha/dunia industri) dan pemerintah berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan yang bermutu.
c.    Menampung dan menganalisis aspirasi, ide, tuntutan dan berbagai kebutuhan pendidikan yang diajukan oleh masyarakat.
d.   Memberikan masukan, pertimbangan, dan rekomendasi kepada satuan pendidikan mengenai:
1)         Kebijakan dan program pendidikan.
2)         Rencana anggaran pendidikan dan belanja sekolah (RAPBS).
3)         Kriteria kinerja satuan pendidikan.
4)         Kriteria fasilitas pendidikan.
5)         Hal-hal lain yang terkait dengan pendidikan.
e.    Mendorong orang tua dan masyarakat berpartisipasi dalam pendidikan guna mendukung peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan.
f.     Menggalang dana masyarakat dalam rangka pembiayaan penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan.
g.    Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap kebijakan, program, penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan (Kepmendiknas nomor: 044/U/2002).
Peranan Komite Sekolah
Secara kontekstual, peran komite sekolah di antaranya sebagai berikut:
a.    Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan.
b.    Pendukung (supporting agency) baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan  di satuan pendidikan.
c.    Pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan.
d.   Mediator antara pemerintah (eksekutif) dengan masyarakat di satuan pendidikan (Kepmendiknas nomor: 044/U/2002).
Depdiknas dalam buku Partisipasi Masyarakat, menguraikan tujuh peranan komite sekolah terhadap penyelenggaraan sekolah, yakni :
a.    Membantu meningkatkan kelancaran penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di sekolah baik sarana, prasarana maupun teknis pendidikan.
b.    Melakukan pembinaan sikap dan perilaku siswa. Membantu usaha pemantapan sekolah dalam mewujudkan pembinaan dan pengembangan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pendidikan demokrasi sejak dini (kehidupan berbangsa dan bernegara, pendidikan pendahuluan bela negara, kewarganegaraan, berorganisasi, dan kepemimpinan), keterampilan dan kewirausahaan, kesegaran jasmani dan berolah raga, daya kreasi dan cipta, serta apresiasi seni dan budaya.
c.    Mencari sumber pendanaan untuk membantu siswa yang tidak mampu.
d.   Melakukan penilaian sekolah untuk pengembangan pelaksanaan kurikulum, baik intra maupun ekstrakurikuler dan pelaksanaan manajemen sekolah, kepala/wakil kepala sekolah, guru, siswa dan karyawan.
e.    Memberikan penghargaan atas keberhasilan manajemen sekolah.
f.     Melakukan pembahasan tentang usulan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).
g.    Meminta sekolah agar mengadakan pertemua untuk kepentingan tertentu (Depdiknas, 2001:17).
Mengacu pada peranan komite sekolah terhadap peningkatan mutu pendidikan, sudah barang tentu memerlukan dana. Dana dapat diperoleh melalui iuran anggota sesuai kemampuan, sumbangan sukarela yang tidak mengikat, usaha lain yang tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan pembentukan komite sekolah

Hubungan Sekolah dengan Komite Sekolah
Sekolah bukanlah suatu lembaga yang terpisah dari masyarakat. Sekolah merupakan lembaga yang bekerja dalam konteks sosial. Sekolah mengambil siswanya dari masyarakat setempat, sehingga keberadaannya tergantung dari dukungan sosial dan finansial masyarakat. Oleh karena itu, hubungan sekolah dengan masyarakat merupakan salah satu komponen penting dalam keseluruhan kerangka penyelenggaraan pendidikan.
Adanya hubungan yang harmonis antara sekolah dan masyarakat yang diwadahi dalam organisasi Komite Sekolah, sudah barang tentu mampu mengoptimalkan peran serta orang tua dan masyarakat dalam memajukan program pendidikan, dalam bentuk:
a.    Orang tua dan masyarakat membantu menyediakan fasilitas pendidikan, memberikan bantuan dana serta pemikiran atau saran yang diperlukan sekolah.
b.    Orang tua memberikan informasi kepada sekolah tentang potensi yang dimiliki anaknya.
c.    Orang tua menciptakan rumah tangga yang edukatif bagi anak.
Berkenaan dengan peningkatan hubungan sekolah dengan masyarakat, substansi pembinaannya harus diarahkan pada meningkatkan kemampuan seluruh personil sekolah dalam:
a.    Memupuk pengertian dan pengetahuan orang tua tentang pertumbuhan pribadi anak.
b.    Memupuk pengertian orang tua tentang cara mendidik anak yang baik, dengan harapan mereka mampu memberikan bimbingan yang tepat bagi anak-anaknya dalam mengikuti pelajaran.
c.    Memupuk pengertian orang tua dan masyarakat tentang program pendidikan yang sedang dikembangkan disekolah.
d.   Memupuk pengertian orang tua dan masyarakat tentang hambatan-hambatan yang dihadapi di sekolah.
e.    Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berperan serta memajukan sekolah.
f.     Mengikutsertakan orang tua dan tokoh masyarakat dalam merencanakan dan mengawasi program sekolah (Depdiknas, 2001:20)
Upaya-upaya yang dilakukan oleh Komite Sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan, meliputi:
a.    Peningkatan partisipasi orang tua dan masyarakat dalam kemajuan sekolah, khususnya dukungan moril dan material.
b.    Peningkatan kesejarteraan guru.
c.    Pengadaan sarana dan prasarana pembelajaran.
d.   Pengawasan terhadap program pendidikan di sekolah.
Upaya-upaya tersebut harus dilakukan Komite Sekolah secara maksimal sesuai dengan kemampuan pengurus Komite Sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.

b.   Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI)
PGRI sebagai organisasi profesi dan ketenagaan bagi guru telah melakakukan berbagai upaya cerdas, namun demikian apresiasi dan pengakuan masyarakat masih belum setimpal dengan perjuangan yang dilakukan.
Adapun upaya strategis yang dimaksud antara lain:
1.    Memberikan perlindungan hukum bagi para guru.
2.    Mendorong pemerintah untuk menaikkan gaji guru.
3.    Menyelenggarakan seminar dan lokakarya pendidikan.
4.    Mendorong pemerintah untuk selalu memperhatikan nasib guru.
5.    Mengusulkan kepada pemerintah agar segera mengesahkan undang-undang guru.
6.    Melakukan kajian mendalam tentang peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pendidikan.
Sudah seharusnya PGRI menjadi jejaring kekuatan organisasi guru dalam memperjuangkan nasib para anggotanya untuk mengemban amanat UUD 1945, ”mencerdaskan bangsa”, PGRI selalu mengundang dan bekerjasama pada organisasi lainnya, selama dalam bingkai NKRI. Mendukung upaya pencerdasan bangsa tanpa memandang asal usul golongan, karena independensi telah menjadi suratan perjuangannya. PGRI harus selalu berjuang untuk mengayomi para anggotanya, tanpa membuat cidera demi kepentingan bangsa. Oleh karenanya PGRI harus menyadari sepenuhnya membangun jejaring [net working] dalam kerangka peningkatan martabat guru selalu dikedepankan.
Penempatan dan pembinaan guru tidak harus melibatkan unsur PGRI, misal pemilihan kepala sekolah yang menjadi kewenangan pejabat yang telah ditunjuk. Karena kepala sekolah dan pejabat merupakan orang yang ditugasi menangani dalam lembaga formal, maka kedua belah pihak harus melaksanakan sesuai dengan aturan. Baik kepala sekolah maupun pejabat dalam peranannya masing-masing telah memenuhi kriteria yang telah digariskan. Masing-masing telah memiliki landasan hukum yang jelas. Hubungannya adalah terikat, antara penilai dan yang dinilai. Batasan kerjanyapun juga sudah jelas.
Dalam situasi tertentu, ternyata kursi kepala sekolah masih menjadi status yang menjanjikan. Unsur status sosialnya lebih kental bila dibandingkan dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Sehingga di beberapa sekolah atau di beberapa daerah masih terjadi rebutan. Dalam keadaan yang demikian, bila PGRI diberi akses untuk membina atau bahkan diberi peran untuk menentukan, dikhawatirkan akan terjadi kasus kong-kalikong. Karena pengurus PGRI mayoritas berasal dari guru yang masih aktif.
PGRI sebagai salah satu organisasi profesi yang dilindungi undang-undang, memiliki tanggungjawab moral meningkatkan profesi guru. PGRI harus mengoptimalkan peran serta guru dalam rangka menuju tujuan pendidikan.
Ikut serta meningkatkan kompetensi guru juga menjadi salah satu tugas utama PGRI. Bila ada guru yang telah memenuhi standar kompetensi, berarti ia telah memenuhi kriteria sebagai seorang guru yang akan menjadi harapan untuk menjadi salah satu pilar penyangga pendidikan.
Guru yang inovatif dan kreatif adalah guru yang bukan asal beda. Ia mampu mengembangkan keilmuannya tidak hanya berdasar pada teori belaka. Juga tidak hanya bertumpu pada pengetahuan yang diperoleh dari bangku kuliah saja.
Mampu mengembangkan kurikulum adalah semangat yang harus dikobarkan oleh guru. Ia buka tipe guru yang konsumtif kurikulum. Pembelajaran yang dibangun bukan berdiri di atas pondasi kurikulum belaka. Ia bermain hanya dalam area teks kurikulum.
Peran organisasi guru dalam membangun profesionalisme tenaga pendidik dan pendidikan bermutu diakui atau tidak mau dirasakan belum maksimal.  Guru mengemban peran strategis dan harus selalu meningkatkan kinerjanya agar pendidikan benar-benar bermutu. Banyak agenda PGRI yang harus dilakukan untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia.  Sehingga PGRI tidak pernah berhenti untuk berupaya meningkatkan mutu tenaga pendidik profesional. Di sisi lain, PGRI sedikit banyak mampu mendorong pemerintah untuk menetapkan upah minimum bagi guru non PNS.  Oleh karenanya dosen dan tenaga kependidikan dituntut mengamalkan jati diri PGRI dengan selalu meningkatkan komitmen dan  profesionalisme untuk memberikan layanan terbaik kepada peserta didik dan masyarakat. PGRI sebagai wadah silaturahmi dan berbagi para tenaga pendidik bisa menunjukkan lebih eksistensinya demi kemajuan pendidikan berkualitas di Indonesia. Sebagaimana diketahui, PGRI sebagai salah satu organisasi profesi yang dilindungi undang-undang, memiliki tanggungjawab moral meningkatkan profesi guru. PGRI  memiliki peran penting dalam mengoptimalkan peran serta guru dalam rangka menuju tujuan pendidikan. PGRI harus membina guru-guru yang inovatif dan kreatif dalam mengembangkan kurikulum di sekolah agar tidak menjadi guru yang konsumtif kurikulum. Guru yang kreatif akan membawa suasana belajar yang kondusif, sehingga siswa menjadi bergairah dalam belajar. Guru yang inovatif adalah guru yang selalu mencari hal-hal yang baru dalam proses transfer ilmu dan membentuk karakter. 

c.    Pusat Pengembangan Madrasah (PPM)
Tidak bisa dipungkiri, madrasah pernah dan masih dianggap lembaga pendidikan kelas dua di tanah air, oleh karena itu diperlukan sebuah lembaga sebagai Pusat Pengembangan yang khusus menangani madrasah.
PPM harus melakukan monitoring dan evaluasi ke madrasah, yang hasilnya dipresentasikan pada pengurus PPM dan menjadi dasar dalam merumuskan program. Salah satunya bagaimana mengangkat citra dengan mengubah paradigma masyarakat tentang madrasah melaui jalur media massa atau forum ilmiah.
Beberapa hambatan yang dihadapi PPM yaitu; anggaran yang tidak rutin, kepengurusan tidak berjalan dengan baik, tidak ada rutinitas organisasi, dan minimnya koordinasi dan komunikasi antar stake holder.
Ke depan diharapkan ada kesepahaman tugas dan fungsi PPM. Sementara terkait diklat penulisan ilmiah, peserta yang dilatih diharapkan setelah kembali bisa mensosialisasikan pemahaman yang diperoleh.

3.      Produk Pendidikan di Indonesia
Pendidikan nasional sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan secara nasional sungguh sangat ideal dan sangat luhur, tetapi pada kenyataannya hasil pembelajara masih jauh dari tujuan yang diharapkan, masih banyak ditemui persoalan-persoalan klasik dari hasil pembelajaran di negara ini, antara lain:
a.    Terjadi tawuran siswa baik antar sekolah, antar kelompok, maupun antar kelas.
b.    Siswa melawan bahkan sampai berani memukul guru.
c.    Siswa terlibat minuman keras dan narkoba atau tersangkut kasus kriminal.
d.   Siswa hamil di luar nikah.
e.    Lulusan tidak punya keterampilan yang dapat dibanggakan.
Persoalan-persoalan tersebut merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri, harus dihadapi dan diselesaikan oleh para pelaksana pendidikan. Ada hal-hal mendasar yang telah diabaikan sehingga hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan tujuan. Berikut beberapa kajian landasan teori tentang hasil pembelajaran.
Suharsimi (2009:295): ”Siswa yang sudah dimasukkan ke dalam alat pemrosesan, yaitu transformasi, dan sudah menjadi bahan jadi, dikenal dengan istilah hasil atau keluaran (output).”
Secara mudah dapat dikatakan bahwa hasil pembelajaran adalah siswa yang telah menjadi bahan jadi setelah melalui tahapan transformasi atau pemrosesan, yaitu kegiatan belajar mengajar. Kualitas proses pembelajaran sangat penting untuk memperoleh hasil yang baik.
Hasil belajar adalah perubahan perilaku akibat belajar. Perubahan perilaku disebabkan karena mencapai penguasaan atas sejumlah bahan yang diberikan dalam proses belajar mengajar. Pencapaian tersebut didasarkan atas tujuan yang telah ditetapkan. Hasil tersebut dapat berupa perubahan dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik (Purwanto 2009:46).
Perubahan perilaku siswa setelah belajar merupakan hasil belajar. Siswa setelah mengikuti proses pembelajaran akan mencapai penguasaan materi pembelajaran yang diberikan, penguasaan materi menyebabkan perubahan perilaku siswa. Perubahan perilaku harus selalu sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Perubahan perilaku siswa harus mencakup perubahan dalam aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Tipe hasil belajar menurut Bloom, dkk dalam Sudjana (2008:55) ada tiga, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah-pisahkan, dan merupakan hubungan hirarki.
Tipe hasil belajar menurut Gagne dalam Sudjana (2008:55) ada lima, yaitu: kemahiran intelektual (kognitif), informasi verbal, mengatur kegiatan intelektual (strategi kognitif), sikap, dan keterampilan motorik.
Secara garis besar dapat dikatakan bahwa tipe hasil belajar siswa setelah mengikuti proses pembelajaran ada tiga tipe, yaitu  kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiga tipe tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh, sehingganya tidak bisa dipisah-pisahkan. Hasil belajar tidak hanya pada satu tipe saja, tetapi harus menyeluruh pada ketiga aspeknya. Apabila perubahan perilaku telah mencakup ketiga aspek tersebut, barulah dapat dikatakan hasil belajar telah tercapai.
a.    Tipe kognitif
Tipe hasil belajar yang pertama menyangkut aspek pengetahuan (kognitif). Terjadi perubahan tingkat pengetahuan siswa. Siswa yang semula tidak tahu menjadi tahu. Aspek pengetahuan ini mencakup perilaku mampu mengenal, mampu memahami, mampu menerapkan, mampu menganalisis atau menghubungkan, mampu mensintesis atau menggabungkan, dan mampu mengevaluasi atau menilai suatu kasus.
b.    Tipe afektif
Tipe hasil belajar yang kedua menyangkut aspek sikap (afektif). Perubahan perilaku hasil belajar menyangkut sikap siswa. Siswa yang semula selalu datang terlambat, berubah menjadi selalu datang tepat waktu. Aspek perubahan sikap ini mencakup perilaku mampu menerima, mampu menanggapi, mampu menilai, mampu mengorganisasi, dan mempunyai karakter.
c.    Tipe psikomotor
Tipe hasil belajar yang ketiga berkaitan dengan aspek psikomotor yang meliputi skill (keterampilan) dan kemampuan. Siswa yang semula tidak bisa berwudlu berubah menjadi bisa berwudlu. Perubahan perilaku aspek psikomotor meliputi imitasi (mengamati dan menirukan), manipulasi (melakukan dengan instruksi), presisi (melakukan tanpa bantuan), artikulasi (mengkombinasikan berbagai aktivitas), naturalisasi (melakukan aktivitas yang terkait dengan keterampilan lain).
Hasil pembelajaran dapat diukur dengan mengkaji beberapa persoalan berikut:
a.    Apakah hasil belajar yang diperoleh siswa dalam bentuk perubahan tingkah laku secara menyeluruh?
b.    Apakah hasil belajar yang dicapai siswa mempunyai daya guna dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa?
c.    Apakah hasil belajar yang dicapai siswa tahan lama diingat dan cukup mempengaruhi perilakunya?
d.   Apakah guru yakin bahwa perubahan siswa merupakan akibat dari proses pembelajaran? (Sudjana 2008:37-39)
Karakteristik siswa mempunyai hubungan positif dengan hasil pembelajaran. Artinya, semakin baik karakteristik siswa maka hasil belajar akan cenderung semakin baik atau meningkat. Sebaliknya, karakteristik siswa yang tidak baik akan menyebabkan hasil belajar tidak baik atau menurun.  Misal, perbedaan intelegensi yang merupakan modal utama dalam belajar untuk mencapai hasil yang optimal.  Setiap siswa  memiliki tingkat intelegensi yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut tampak dari proses dan hasil belajar yang dicapai. Pada proses belajar di kelas, ada siswa yang cepat menerima penyampaian guru dan ada yang lamban. Tinggi rendah hasil belajar tergantung pada tinggi rendah intelegensi yang dimiliki, walaupun intelegensi bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi hasil belajar.
Persoalan hasil pembelajaran merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam proses pembelajaran dan tidak dapat ditolak. Persoalan – persoalan tersebut merupakan tantangan bagi sekolah untuk mengelolanya dengan baik. Harus ada sistem yang baik dan handal. Pengelolaan pendidikan pada tingkat satuan pendidikan harus memperhatikan komponen-komponen pendidikan. Lebih khusus kesiapan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan lainnya yang menunjang proses pembelajaran. Seleksi penerimaan guru harus ketat, penyelenggaraan diskusi, diklat, workshop, MGMP, dan sebagainya menjadi keharusan.  Guru harus benar-benar memiliki kualifikasi dan kompetensi minimal yang dipersyaratkan.
Kurikulum tingkat satuan pendidikan harus operasional dan sesuai dengan dinamika masyarakat dan perkembangan zaman. Kurikulum harus memperhatikan segala aspirasi masyarakat, tuntutan zaman, dan prediksi pada masa yang akan datang. Kelemahan dari kurikulum yang disusun oleh satuan pendidikan adalah bahwa masih banyak satuan pendidikan yang menyusun kurikulum dengan cara copy paste dari kurikulum satuan pendidikan lain. Padahal kurikulum merupakan rel proses pendidikan pada satuan pendidikan, sehingga penyusunannya harus melibatkan pihak-pihak yang terkait dengan pendidikan.
Fasilitas dan lingkungan pendidikan merupakan komponen yang tidak kalah penting dari komponen yang lainnya. Keberadaan fasilitas pembelajaran seperti ruang belajar, perpustakaan, laboratorium, tempat bermain, multimedia, dan lain-lain harus cukup memadai agar pembelajaran dapat berjalan dengan baik.
Produk pendidikan kita dirasakan sangat jauh dari pencapaian target ketiga aspek hasil pembelajaran, baik secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Secara kognitif, tampak jelas para lulusan tidak siap untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi atau terjun ke lapangan kerja, sehingga memunculkan kolusi dan nepotisme baik pada penerimaan siswa/mahasiswa maupun penerimaan pegawai. Secara afektif, banyak lulusan sekolah kita yang tidak menerapkan etika pergaulan yang baik, di antaranya tawuran, pengangguran, kriminalitas, dan lain-lain. Secara psikomotorik, tampak jelas bahwa lulusan sekolah kita tidak mempunyai keterampilan yang dibutuhkan untuk berkarya dalam hidupnya. Keterampilan yang dimiliki lulusan justru lebih banyak diperoleh di lembaga-lembaga kursus, privat, atau bahkan setelah lulusan berada di dunia kerja.
Kenyataan bahwa kualitas pendidikan yang diperoleh masyarakat minim sehingga menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang berdaya saing rendah, seharusnya lebih memacu pemerintah untuk memprioritaskan pendidikan sebagai program utama perbaikan Negara. Pemerintah seharusnya lebih tergerak untuk memfasilitasi peningkatan pendidikan dan menggerakkan masyarakat untuk memperoleh pendidikan berkualitas. Beban angka pengangguran yang sangat tinggi di Indonesia akan semakin bertambah karena daya saing SDM Indonesia yang rendah. Investasi dari luar negeri pun akan menurun karena kualitas pendidikan minim, sehingga upah para tenaga kerja pun sangat rendah. Dampak yang lebih memprihatinkan akibat rendahnya daya saing SDM Indonesia adalah terjadinya kebangkrutan Negara saat pemberlakuan pasar bebas globalisasi.
Perhatian ekstra Pemerintah pada bidang pendidikan di Indonesia masih minim. Pendidikan belum menjadi prioritas utama. Sehingga fasilitas yang diberikan Pemerintah sampai sekarang masih minim. Pada awal reformasi bergulir, ada secercah harapan pendidikan di Indonesia menjadi perhatian utama dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) pasal 49 ayat (1) menyatakan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari anggaran pendapatan belanja nasional (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Namun anggaran pendidikan tersebut dipergunakan untuk kepentingan yang lebih banyak meliputi kebutuhan biaya untuk kualifikasi akademik guru menjadi minimal strata satu, tunjangan-tunjangan guru, biaya investasi rehabilitasi gedung yang rusak, pengadaan sarana pendidikan dan peningkatan pelayanan pendidikan. Semakin minimnya anggaran pendidikan yang dialokasikan Pemerintah mengakibatkan masyarakat kembali harus memikul beban biaya operasional pendidikan yang tidak sedikit untuk memenuhi semua kebutuhan yang mendukung terwujudnya pendidikan bermutu. Kondisi ini cenderung berakibat pada terbatasnya akses pendidikan untuk semua kalangan masyarakat, terutama kalangan masyarakat kurang beruntung, angka putus sekolah meningkat, presatasi belajar peserta didik cenderung sulit diperbaiki, dan sebagainya.
Persoalan minimnya kualitas pendidikan dan rendahnya daya saing SDM Indonesia semakin serius. Beban hidup masyarakat semakin berat dan beban Negara semkain bertambah. Padahal kualitas unggul SDM Indonesia agar berdaya saing tinggi sangat mendesak dibutuhkan. Jika pendidikan tidak juga menjadi prioritas utama maka bukannya tidak mungkin kualitas pendidikan semakin terabaikan, banyaknya keberadaan SDM tidak kompetitif, dan kesejahteraan masyarakat tidak dapat diwujudkan. Pada akhirnya cita-cita pembangunan nasional untuk mencerdaskan bangsa dan menyejahterakan rakyat secara keseluruhan semakin sulit dicapai.
Selain masalah prioritas dan anggaran, sistem penjaminan mutu pendidikan di Indonesia terutama pendidikan tinggi sekarang ini masih bersifat insidental/sporadis/tidak berkelanjutan dan pada umumnya tidak dilakukan dengan kesadaran penuh. Akibatnya, strategi penjaminan mutu yang dilakukan pemerintah, di antaranya penetapan pedoman penjaminan mutu pendidikan tinggi dari Ditjen Dikti belum sepenuhnya berhasil meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Indonesia. Kondisi ini sebagai akibat langsung dari sentralisasi pengelolaan pendidikan tinggi yang selama ini dilakukan. Di mana sebagian besar masyarakat bahkan pengelola perguruan tinggi masih berpandangan, suatu program studi dianggap bermutu hanya jika mendapat pengakuan dari Pemerintah atau badan akreditasi yang diselenggarakan Pemerintah. Oleh karenanya sistem penjaminan mutu pendidikan khususnya pendidikan tinggi perlu diperbaiki pengeloalaannya, serta masyarakat dan pengelolan lembaga pendidikan perlu disadarkan dan diarahkan untuk mengembangkan pendidikan yang bermutu dan dapat berdaya saing di pasar internasional. Cita-cita mencedaskan bangsa dapat terwujud jika Pemerintah memprioritaskan pendidikan sebagai program utama dengan bersungguh-sungguh memfasilitasi operasional pendidikan, pengelola lembaga pendidikan melaksanakan tugas mendidik dan transfer ilmu secara terarah dan terencana, dan masyarakat secara sadar dan mandiri mampu mengkases pendidikan untuk meningkatkan kualitas produktivitasnya sendiri. Situasi persaingan global saat ini, kesadaran akan kualitas harus ditanamkan secara dini kepada masyarakat. Karena dalam situasi persaingan yang semakin ketat ini, sumber daya makin terbatas, perkembangan teknologi maupun perilaku konsumen yang berubah dengan cepat, maka kualitas menjadi senjata dalam memenangkan persaingan.
Kita adalah salah satu hasil dari pendidikan di Indonesia, bangsa ini berharap agar hasil pendidikan dari Indonesia dapat menjadikan negara kita menjadi negara maju dan memiliki sumber daya manusia yang kreatif dan inovatif. Tapi kenyataannya, mengapa masih banyak hasil dari pendidikan ini menyalahgunakan keahlian dan kemampuan yang dia peroleh semasa bersekolah dulu, di sekolah selalu diajarkan kejujuran, kerjasama yaitu dalam pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, juga kita belajar menghitung, menjumlah, mengali, dan sebagainya, juga diajarkan pengenalan bangsa ini melalui geografinya dan mata pelajaran lain yang kelak bermanfaat untuk nanti membangun negara ini.
Dan kenyataannya pula semakin banyak hasil pendidikan yang dicetak maka mengapa semakin banyak pula penggangguran yang ada di Indonesia ? Dan mengapa semakin tinggi pula tingkat korupsi di Indonesia dan yang melakukannya adalah oknum-oknum hasil dari pendidikan yang selama ini bisa jadi kita banggakan ? Semoga kita akan selalu menjadi hasil pendidikan yang terbaik paling tidak dapat memberi manfaat bagi orang-orang terdekat kita untuk selalu berkreasi dan berinovasi.






























DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003.

Kepmendiknas nomor 044/U/2002.

Arikunto, Suharsimi. 2009. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Ihsan, Fuad. 1996. Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Khodijah, Nyayu. 2011. Psikologi Pendidikan. Palembang: Grafika Telindo Press.

Muslich, Masnur. 2009. Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara.

Purwanto, Ngalim. 1995. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Purwanto. 2009. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sudijono, Anas. 2008. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. RajaGradindo Persada.

Sudjana, Nana. 2008. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Tirtarahardja, Umar, S. L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

dapat diunduh di sini!

No comments: