Perkembangan Islam, Takdir, dan Filsafat
Bangsa Arab populer dengan sebutan bangsa Badwy (Baduy) yang
identik dengan kesederhanaan namun terbelakang secara intelektual, sosial,
politik dan ekonomi. Muhammad bin Abdullah adalah seorang Arab tulen yang
kemudian mendapat amanat dan wahyu Allah swt hingga diangkat menjadi
Rasulullah. Amanat yang begitu agung dan mulia diberikan untuk menyebar rahmat
Allah swt di sekalian alam. Idealnya, amanat sebesar itu tak akan mampu diemban
oleh seseorang yang dikategorikan ke dalam bangsa Badwy. Ternyata yang
disaksikan sekarang, amanat itu menjadi kenyataan. Islam hingga kini telah
menyebar ke seluruh pelosok dunia.
Problema takdir terus menjadi isu yang hangat sepanjang pemahaman
manusia. Sebab isu itu memiliki dampak langsung maupun tidak langsung terhadap
nasib manusia. Berbagai faham teologis hanya menciptakan kelompok-kelompok yang
tak habis perdebatannya, baik dari sudut pandang kuasa manusia maupun kehendak
Tuhan. Perdebatan tersebut terus terjadi dan perlu ada solusi untuk menengahi
pendapat-pendapat tersebut.
Filsafat telah menjadi momok yang menakutkan di sebagian ummat
Islam, sehingga pada masa pasca Imam al-Ghazali, filsafat sempat menjadi barang
haram bagi mereka bahkan hingga kini. Hal ini terjadi, padahal filsafat telah
memberi dampak bagi dunia Islam, sehingga perlu ada pembelaan terhadap filsafat
Islam.
1.
Perkembangan Islam dan Kemajuannya
a.
Arab
Pra Islam
Bangsa Arab
sebelum Islam disebut dengan istilah Bangsa Badwy, dan zaman tersebut disebut zaman
jahiliyah. Tidak benar apabila Badwy dan Jahiliyah yang dimaksud adalah
kesederhanaan dan terbelakang secara intelektual, sosial, politik, dan ekonomi.
Jahiliyah yang dimaksud merupakan kerusakan moral dan kebodohan dalam akidah
yang tidak menyembah Tuhan Yang Maha Esa. Mayoritas orang Arab zaman tersebut
menyembah berhala.
Subhani (2006)
menjelaskan bahwa bangsa Arab sebelum Islam telah beradab sejak berabad-abad.
Bangunan-bangunan megah dan tinggi yang didirikan di berbagai bagian Arabia,
dan hubungan dagangnya dengan berbagai bangsa yang maju di dunia, membuktikan
bahwa bangsa Arab sebelum Islam telah beradab.[1]
Pendapat
tersebut dengan mudah dapat dicerna oleh akal, karena tidak mungkin bangsa yang
terbelakang mampu membangun gedung-gedung megah dan tinggi juga mempunyai
hubungan perniagaan dengan bangsa-bangsa besar. Hal ini jelas menunjukkan bahwa
bangsa Arab sebelum Islam adalah bangsa yang maju dan beradab. Jadi tidaklah
benar apabila dikatakan bahwa bangsa Arab sebelum Islam adalah bangsa yang
terbelakang.
b.
Kelahiran
Muhammad bin Abdullah
Kegelapan zaman
jahiliyah telah menutupi seluruh bangsa Arab. Perbuatan buruk, peperangan,
perampokan, dan pembunuhan bayi perempuan telah menyebabkan bangsa Arab berada
pada posisi kerusakan moral yang luar biasa. Pada waktu itu diperlukan
kemunculan cahaya benderang yang membawa perubahan.
Subhani (2006)
menulis, ”Para penulis sirah (biografi) Nabi umumnya sepakat bahwa Nabi
Muhammad lahir di Tahun Gajah 570 M. Adalah pasti bahwa beliau meninggal tahun
632 M. Bila saat itu usianya 62-63 tahun, berarti beliau lahir tahun 570 M”.[2]
Kelahiran Nabi Muhammad
SAW membawa amanat besar dari Allah sebagai cahaya bagi bangsa Arab Jahiliyah.
Kelahiran Nabi Muhammad SAW merupakan langkah awal menuju peradaban baru,
kemajuan, dan kemakmuran bagi bangsa Arab yang terbelakang secara akidah dan
moral.
c.
Perkembangan
dan Kemajuan Islam
Menurut Murodi
(1997) bahwa Islam maju dan menyebar ke seluruh pelosok dunia karena Islam
telah mengajarkan umatnya untuk berperadaban tinggi, ajaran Islam tersebut
antara lain:
1)
Islam
sangat menghargai akal, meletakkan akal pada tempat terhormat, memerintahkan
manusia mempergunakan akalnya untuk memeriksa dan memikirkan keadaan alam.
2)
Islam
mewajibkan setiap pemeluk Islam untuk menuntut ilmu.
3)
Islam
melarang orang bertaklid buta, menerima sesuatu sebelum diperiksa.
4)
Islam
mengerahkan pemeluknya supaya melakukan penemuan-penemuan baru dan bermanfaat
bagi kemanusiaan.
5)
Islam
memerintahkan pemeluknya untuk mencari keridaan Allah dan mempergunakan hak-hak
keduniaan dalam peraturan agama.
6)
Islam
memerintahkan umatnya untuk memperhubungkan silaturahmi dengan bangsa dan
golongan lain dan saling bertukar pengetahuan.
7)
Islam
menyuruh memeriksa dan menerima kebenaran walaupun datang dari kaum yang
berlainan bangsa dan berlainan kepercayaan.[3]
Kemajuan Islam
sampai sekarang ini yang telah menyebar ke seluruh pelosok dunia, merupakan
keberhasilan misi Nabi Muhammad SAW yang diutus untuk untuk semua umat manusia
di dunia. Hal ini tidak terlepas dari keberhasilan Nabi Muhammad SAW menanamkan
akidah Islamiyah kepada para sahabat dan pengikutnya.
Beberapa faktor
yang menyebabkan kemajuan Islam antara lain:
a.
Nabi
Muhammad SAW telah dipersiapkan oleh Allah SWT, hal tersebut dapat diketahui
dari:
1)
Nabi
Muhammad SAW dilahirkan dari keluarga yang tetap taat memegang ajaran Nabi
Ibrahim AS.
2)
Nabi
Muhammad SAW dari kecil telah dijauhkan dari maksiat dan haram. Ketika kecil
Nabi Muhammad SAW disusukan kepada seorang perempuan dari luar kota.
3)
Pada
waktu kecil Nabi Muhammad SAW telah dibersihkan hatinya oleh malaikat Jibril.
b.
Keadaan
geografis Semenanjung Arab telah menempa orang-orang Arab menjadi orang yang
tahan menghadapi segala keadaan. Setelah orang-orang Arab masuk Islam, mereka
menjadi pembela Islam yang gagah berani.
c.
Islam
menyebar dengan damai dan tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam. Islam
memerintahkan perang hanya untuk orang-orang yang memusuhi Islam.
d.
Akidah
Islamiyah yang kuat dan kokoh menjadi motivasi utama untuk mengembangkan dan
menyebarkan Islam.
e.
Ajaran
Islam mendorong umatnya untuk berperadaban tinggi.
2.
Takdir dan Alirannya
a.
Perdebatan
tentang Takdir
Berkaitan
dengan problema takdir tentang kuasa manusia dan kehendak Tuhan terdapat dua
kelompok besar yang memperdebatkannya, kedua kelompok tersebut adalah Qadariah
dan Jabariah. Menurut Nasution (1986) bahwa kedua kelompok yang memperdebatkan
tentang takdir tersebut adalah Qadariah dan Jabariah. Kaum Qadariah berpendapat
bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan menentukan perjalanan
hidupnya. Manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Sebaliknya, Kaum Jabariah berpendapat bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perubatannya. Manusia
terikat pada kehendak mutlak Tuhan.[4]
Kedua kelompok
tersebut sama-sama mempunyai dasar dari Al-Qur’an. Ayat-ayat al-Qur’an yang
menjadi dasar bagi Kaum Qadariah antara lain:
1)
Surat
Fussilat (41) ayat 40
إِنَّ الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي آيَاتِنَا لَا يَخْفَوْنَ
عَلَيْنَا أَفَمَن يُلْقَى فِي النَّارِ خَيْرٌ أَم مَّن يَأْتِي آمِناً يَوْمَ الْقِيَامَةِ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ [5]
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami,
mereka tidak tersembunyi dari Kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke
dalam neraka lebih baik ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa
pada hari kiamat? Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; sesungguhnya Dia Maha
Melihat apa yang kamu kerjakan.
2)
Surat
ar-Ra’d (13) ayat 11
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِّن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ
يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللّهِ إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى
يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ
اللّهُ بِقَوْمٍ سُوءاً فَلاَ مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُم مِّن دُونِهِ مِن وَالٍ [6]
Artinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu
mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas
perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga
mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat
menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
Ayat-ayat
al-Qur’an yang menjadi dasari bagi Kaum Jabariah antara lain:
1)
Surat
ash-Shaffat (37) ayat 96
Artinya: ”Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan
apa yang kamu perbuat itu".
2)
Surat
al-Hadid (57) ayat 22)
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا
فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ [8]
Artinya: ”Tiada
suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan
telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”.
Kedua kelompok
yang berbeda pendapat tersebut tidaklah menyalahi al-Qur’an, karena semuanya
sama-sama berdasar pada ayat-ayat al-Qur’an.
b.
Solusi
Penengah
Nasution (1986)
mengatakan:
Pada
hakekatnya semua aliran tersebut, tidaklah keluar dari Islam, tetapi tetap
dalam Islam. Dengan demikian tiap orang Islam bebas memilih salah satu dari
aliran-aliran teologi tersebut, yaitu aliran mana yang sesuai dengan dengan
jiwa dan pendapatnya.[9]
Keberadaan
perbedaan pendapat tentang takdir tidak harus menjadi alasan untuk saling
bermusuhan dan saling menyalahkan. Manusia harus bersikap positif dalam
menyikapi perbedaan pendapat tentang takdir tersebut. Menurut T. Ibrahim
(2008), ”Sikap positif terhadap qada dan qadar, antara lain ikhtiar, tawaduk,
tawakal, dan tabah”.[10]
Kewajiban
manusia berkaitan dengan takdir adalah berusaha, selebihnya semua harus
dikembalikan kepada Allah. Hasil bukanlah wilayah manusia lagi, wilayah manusia
hanya terbatas pada usaha. Keberadaan takdir harus menjadi motivasi bagi
manusia untuk selalu berusaha dengan sebaik-baiknya melalui sarana yang
dibenarkan oleh agama.
Menurut T.
Ibrahim (2008),
Dalam
kenyataan hidup ini ada sesuatu yang tidak dapat diusahakan manusia dan ada
pula sesuatu yang tergantung dari usaha manusia. Oleh karena itu, ulama mengatakan
bahwa takdir ada dua macam, yaitu takdir mubram dan mu’allaq.
a.
Takdir Mubram
Takdir
mubram ialah takdir yang tidak
dapat berubah karena kemauan atau usaha manusia.
b.
Takdir Mu’allaq
Takdir
mu’allaq ialah takdir yang dapat berubah karena adanya usaha yang
dilakukan manusia.[11]
Jalan tengah
bagi perbedaan antara Jabariah dan Qadariah adalah bahwa takdir ada yang dapat
diubah dan takdir yang tidak dapat diubah oleh usaha manusia.
3.
Filsafat dan Islam
a.
Filsafat
dalam Islam
Filsafat bukan
untuk orang awam, karena filsafat seperti alam yang sangat abstrak, dalam dan
luas, hanya orang-orang yang ahli berpikir dan menguasai sarana dan metodenya yang
dapat berkecimpung di dalamnya.
Berfilsafat
diperlukan untuk berpikir dan mencari kebenaran. Kebenaran dalam ajaran Islam
telah ada yaitu yang datang dari Allah, kebenaran yang terkandung dalam
kebesaran Allah, sebagaimana Syadali (1997) mengatakan, ”Filsafat adalah hasil
akan seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan
sedalam-dalamnya. Dengan kata lain, filsafat adalah ilmu yang mempelajari
dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu”.[12]
Ketakjuban
terhadap kebesaran Allah menyebabkan orang berkeinginan untuk mengetahui dan
memikirkannya agar dapat mensyukuri nikmat Allah lebih mendalam. Allah
berfirman dalam surat al-An’am (6) ayat 98
وَهُوَ الَّذِيَ أَنشَأَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ
فَمُسْتَقَرٌّ وَمُسْتَوْدَعٌ قَدْ فَصَّلْنَا الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَفْقَهُونَ [13]
Artinya: ”Dan
Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada tempat tetap
dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran
Kami kepada orang-orang yang mengetahui”.
Al-Qur’an surat al-Isra’ (17) ayat 85
وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الرُّوحِ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُم مِّن الْعِلْمِ إِلاَّ
قَلِيلاً [14]
Artinya: ”Dan
mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan
Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit"”.
Merenung dan
berpikir menjadi jalan ke filsafat dan dengan berfilsafat berarti telah menghargai dan mensyukuri
nikmat Allah. Menghargai Allah yang telah memberikan akal pikiran kepada
manusia dan mensyukuri nikmat Allah dengan cara menggunakan akal pikiran itu.
Hal yang perlu diperhatikan bahwa ada batas-batas lokasi akal yang boleh
berperan dan setelah itu agamalah yang mengambil alih peran akal tersebut.
b.
Dampak
filsafat
Ahmad Saebani
(2009) mengatakan: ”Tidak ada satupun makhluk Tuhan yang diciptakan dalam
keadaan sia-sia dan batil. Semua yang tercipta untuk manusia memiliki manfaat”.[15] Demikian
pula dengan filsafat yang merupakan hasil kerja akal karunia Allah juga
mempunyai manfaat yang sangat besar bagi kelangsungan kehidupan manusia.
Menurut
Supriyadi (2009), ”Pemakaian akal yang diperintahkan Al-Qur’an, seperti yang
terdapat dalam ayat-ayat kauniyah, mendorong manusia untuk meneliti alam
sekitarnya dan mengembangkan ilmu pengetahuan”.[16]
Dalam
perjalanan filsafat, ternyata ada golongan tertentu yang tenggelam dalam
mempelajari filsafat sehingga menjadi orang sesat. Hal inilah yang mungkin
menyebabkan sekelompok orang mengharamkan filsafat. Akan tetapi, di lain pihak
ternyata filsafat menjadi pemacu pengembangan dan kemajuan peradaban dan
pemikiran Islam, sehingga ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat.
c.
Pembelaan
terhadap filsafat
Diakui atau
tidak bahwa filsafat telah digunakan di dunia Islam. Filsafat telah menjadi
jiwa dan mewarnai pemikiran-pemikiran yang berguna bagi pengembangan dan
kemajuan Islam. Filsafat tidak keluar dari akidah Islam, Islam menjadi roh
sebagai nilai spiritual filsafat.
Menurut Djamil
(1997) bahwa filsafat dalam Islam menjadi sarana untuk menganalisis hukum Islam
secara metodis dan sistematis sehingga mendapatkan keterangan yang mendasar,
atau menganalisis hukum Islam secara Islami.[17]
Manusia sebagai
makhluk yang dikarunia akal sebagai bekal hidup di dunia harus memanfaatkan akalnya
itu. Hukum Islam harus diterima dengan baik oleh akal. Oleh karena itu
diperlukan filsafat untuk menganalisisnya dengan metode-metode ilmiah dan
sistematis, sehingga dapat menjawab pertanyaan orang-orang yang berusaha
mendebat Islam.
Menurut Musa (1991),
Pada
tingkat terakhir hasil pemikiran filsafat tidak mungkin bertentangan dengan
agama karena kedua-duanya bersumber pada hakikat terakhir yang sama, dan
apabila ada ketidakserasian, diperlukan refleksi yang lebih mendalam atau
tafsiran baru. Apabila kontradiksinya tidak dapat dihilangkan juga, timbul
perbedaan pendapat tentang apakah akal pikiran atau iman yang harus diutamakan.[18]
Filsafat dalam
Islam memiliki banyak kegunaan antara lain sebagai berikut:
1)
Ajaran
Islam menganjurkan pemeluknya untuk mempelajari ilmu pengetahuan. Surat Ali
Imran (3) ayat 190-191 menegaskan:
إِنَّ فِي
خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِّأُوْلِي
الألْبَابِ . الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ
وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا
بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ [19]
Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk
atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit
dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini
dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.
2)
Mempelajari
filsafat bermanfaat untuk memperkuat akidah Islamiah.
3)
Mempelajari
filsafat berguna untuk berdiskusi dan berargumentasi dengan orang-orang yang tidak seagama atau yang
menyimpang dari ajaran Islam.
4)
Situasi
dan kondisi masyarakat yang semakin maju memerlukan filsafat untuk memperoleh
ilmu yang tidak menyimpang dari ajaran agama.
5)
Larangan
berfilsafat merupakan pengekangan kebebasan berpikir yang mengarah pada
penindasan terhadap orang-orang yang berpotensi untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan.[20]
Al-Qur’an
sebagai kitab suci umat Islam dengan tegas telah memerintahkan umatnya untuk
menuntut ilmu. Ilmu yang diperoleh melalui jalan filsafat dapat digunakan untuk
memperkuat akidah Islamiah. Akidah yang kuat dan kemampuan berfilsafat akan
sangat membantu untuk berdiskusi dengan orang-orang yang menyimpang dari Islam.
Seiring
kemajuan zaman, maka masyarakat juga semakin maju. Kemajuan yang dialami
masyarakat Islam sangat memerlukan kehadiran filsafat agar ilmu pengetahuan
yang diperoleh tidak menyimpang dari ajaran Islam. Dengan demikian larangan
terhadap filsafat merupakan pengekangan kebebasan berpikir manusia yang menjadi
fitrah sejak lahir dan menghambat pengembangan ilmu pengetahuan yang Islami.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
al-Karim.
Ahmad
Saebani, Beni. 2009. Filsafat Ilmu. Bandung: Pustaka Setia.
Asmuni,
Yusran. 1996. Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Djamil,
Fathurrahman. 1997. Filsafat Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Murodi.
1997. Sejarah Kebudayaah Islam. Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Musa,
Yusuf, M. 1991. Al-Qur’an dan Filsafat, Penuntun Mempelajari Filsafat Islam.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nasution,
Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta: UI-Press.
Subhani,
Ja’far. 2006. Sejarah Nabi Muhammad SAW.
Jakarta: Lentera.
Supriyadi,
Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam: Konsep, filsuf, dan ajarannya. Bandung:
CV. Pustaka Setia.
Syadali,
Ahmad, Mudzakir. 1997. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia.
T.
Ibrahim, Darsono. 2008. Membangun Akidah dan Akhlak. Solo: PT. Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri.
[1] Subhani,
Ja’far. 2006. Sejarah Nabi Muhammad SAW.
Jakarta: Lentera. hlm.12
[2]
Subhani,
Ja’far. 2006. Sejarah.... hlm.
100
[3] Murodi. 1997. Sejarah
Kebudayaah Islam. Semarang: PT. Karya Toha Putra. hlm. 22-24
[4] Nasution,
Harun. 1986. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta:
UI-Press.hlm. 31
[5] Q.S, 41:40
[6] Q.S, 13:11
[7] Q.S, 37:96
[8] Q.S, 57:22
[9] Nasution,
Harun. 1986. Teologi Islam....hlm. 152
[10] T. Ibrahim, Darsono.
2008. Membangun Akidah dan Akhlak. Solo: PT. Tiga Serangkai Pustaka
Mandiri. hlm.53
[11] T. Ibrahim,
Darsono. 2008. Membangun.... hlm.54
[12] Syadali,
Ahmad, Mudzakir. 1997. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia. hlm. 11
[13] Q.S, 6:98
[14] Q.S, 17:85
[15] Ahmad Saebani,
Beni. 2009. Filsafat Ilmu. Bandung: Pustaka Setia. hlm.41
[16] Supriyadi,
Dedi. 2009. Pengantar Filsafat Islam: Konsep, filsuf, dan ajarannya. Bandung:
CV. Pustaka Setia. hlm. 43
[17] Djamil,
Fathurrahman. 1997. Filsafat Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. hlm.
[18] Musa, Yusuf,
M. 1991. Al-Qur’an dan Filsafat, Penuntun Mempelajari Filsafat Islam.
Yogyakarta: Tiara Wacana. hlm. 79
[19] Q.S, 3:190-191
No comments:
Post a Comment