SARANA BERPIKIR ILMIAH
Makalah
Didiskusikan pada Diskusi Kelas RJS-5
Program Pascasarjana IAIN Raden Fatah Palembang
Oleh
Mukhamad Fathoni
NM: 2110104109
Mata Kuliah: Filsafat Ilmu
Program Studi: Ilmu Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Prof. DR. H. Jalaluddin
PROGRAM PASCASARJANA IAIN RADEN FATAH
PALEMBANG
2011
SARANA BERPIKIR ILMIAH
A. Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk yang berakal, akal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, seperti hewan dan tumbuhan bahkan jin dan malaikat sekalipun. Dengan akal yang dimilikinya, manusia mempunyai kemampuan untuk mencapai tujuan hidupnya dalam kehidupan sehari-hari. Manusia mampu membuat peralatan-peralatan yang dapat meringankan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kemampuan manusia membuat peralatan bukanlah hal yang dapat dilakukan dengan begitu saja, tetapi telah melalui proses pengalaman. Pengalaman-pengalaman yang telah dilalui menjadi dasar bagi pembentukan pengetahuan. Dengan pengetahuan yang telah dimiliki inilah manusia dapat membuat peralatan-peralatan tersebut.
Pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman untuk membuat alat menyebabkan manusia terus mengembangkan pengetahuannya, untuk mengembangkan pengetahuannya tersebut dibutuhkan juga alat. Dengan alat yang baik dimungkinkan manusia akan memperoleh pengetahuan baru melalui aktivitas berpikir yang benar.
Berpikir ilmiah dan kegiatan-kegiatan ilmiah lainnya yang lebih luas, bertujuan memperoleh pengetahuan yang benar atau pengetahuan ilmiah. Untuk mencapai tujuan tersebut, manusia jelas memerlukan sarana atau alat berpikir ilmiah. Sarana ini bersifat pasti, maka aktivitas keilmuan tidak akan maksimal tanpa sarana berpikir ilmiah tersebut.
Bagi seorang ilmuwan penguasaan sarana berpikir ilmiah merupakan suatu keharusan, karena tanpa penguasaan sarana ilmiah tidak akan dapat melaksanakan kegiatan ilmiah yang baik (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2010:97). Penguasaan sarana ilmiah sangat penting bagi ilmuwan agar dapat melaksanakan kegiatan ilmiah dengan baik. Sarana berpikir ilmiah membantu manusia menggunakan akalnya untuk berpikir dengan benar dan menemukan ilmu yang benar.
Makalah ini ditulis untuk membahas dan memahami tentang sarana berpikir ilmiah, meliputi: pengertian sarana berpikir ilmiah, tujuan sarana berpikir ilmiah, fungsi sarana berpikir ilmiah, bahasa sebagai sarana berpikir ilmiah, logika sebagai sarana berpikir ilmiah, matematika sebagai sarana berpikir ilmiah, dan statistika sebagai sarana berpikir ilmiah.
B. Pembahasan
1. Pengertian sarana berpikir ilmiah
Surisumantri (2003:165), ”Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat yang membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh”. Sarana ilmiah merupakan suatu alat, dengan alat ini manusia melaksanakan kegiatan ilmiah. Pada saat manusia melakukan tahapan kegiatan ilmiah diperlukan alat berpikir yang sesuai dengan tahapan tersebut. Manusia mampu mengembangkan pengetahuannya karena manusia berpikir mengikuti kerangka berpikir ilmiah dan menggunakan alat-alat berpikir yang benar.
Untuk mendapatkan ilmu diperlukan sarana berpikir ilmiah. Sarana berpikir diperlukan untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik dan teratur. Sarana berpikir ilmiah ada empat, yaitu: bahasa, logika, matematika dan statistika (Suriasumantri, 2003:167). Sarana berpikir ilmiah berupa bahasa sebagai alat komunikasi verbal untuk menyampaikan jalan pikiran kepada orang lain, logika sebagai alat berpikir agar sesuai dengan aturan berpikir sehingga dapat diterima kebenarannya oleh orang lain, matematika berperan dalam pola berpikir deduktif sehingga orang lain lain dapat mengikuti dan melacak kembali proses berpikir untuk menemukan kebenarannya, dan statistika berperan dalam pola berpikir induktif untuk mencari kebenaran secara umum.
2. Tujuan sarana berpikir ilmiah
Suriasumantri (2003:167),
Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita melakukan penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan tujuan mempelajari ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk bisa memecahkan masalah kita sehari-hari.
Harus dibedakan antara tujuan mempelajari sarana ilmiah dan tujuan mempelajari ilmu. Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah agar dapat melakukan kegiatan penelaahan ilmiah. Untuk memaksimalkan kemampuan manusia dalam berpikir menurut kerangka berpikir yang benar maka diperlukan pengetahuan tentang sarana berpikir ilmiah dengan baik pula. Manusia mempelajari ilmu agar dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam kehidupannya. Dengan ilmu yang telah dipelajarinya manusia dapat meningkatkan kemakmuran hidupnya.
3. Fungsi sarana berpikir ilmiah
Suriasumantri (2003:167), ”... fungsi sarana ilmiah adalah membantu proses metode ilmiah, dan bukan merupakan ilmu itu sendiri”.
Sarana ilmiah mempunyai fungsi-fungsi yang khas dalam kegiatan ilmiah secara menyeluruh dalam mencapai suatu tujuan tertentu (Suriasumantri, 2003:165). Keseluruhan tahapan kegiatan ilmiah membutuhkan alat bantu yang berupa sarana berpikir ilmiah. Sarana berpikir ilmiah hanyalah alat bantu bagi manusia untuk berpikir ilmiah agar memperoleh ilmu. Sarana berpikir ilmiah bukanlah suatu ilmu yang diperoleh melalui proses kegiatan ilmiah.
4. Bahasa sebagai sarana berpikir ilmiah
Salah satu perbedaan manusia dengan makhluk lainnya adalah kemampuan manusia berbahasa. Bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, termasuk di dalamnya adalah kegiatan ilmiah. Kegiatan ilmiah sangat berkaitan erat dengan bahasa. Menggunakan bahasa yang baik dalam berpikir membantu untuk mengkomunikasikan jalan pikiran kepada orang lain. Berpikir sebagai hasil kegiatan otak manusia tidak akan ada artinya apabila tidak diketahui oleh orang lain. Cara untuk mengkomunikasikannya kepada orang lain adalah menggunakan sarana bahasa.
Bahasa merupakan lambang serangkaian bunyi yang membentuk suatu arti tertentu (Suriasumantri, 2003:175). Bahasa merupakan pernyataan pikiran atau perasaan sebagai alat komunikasi manusia yang terdiri dari kata-kata atau istilah-istilah dan sintaksis. Kata atau istilah merupakan simbol dari arti sesuatu, sedangkan sintaksis merupakan cara menyusun kata-kata menjadi kalimat yang bermakna (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2010:98).
Suatu obyek dapat dilambangkan dengan bunyi tertentu. Misalnya, suatu alat berbentuk runcing yang diisi tinta dan digunakan untuk menulis dilambangkan dengan bunyi ”pena”. Untuk melambangkan warna yang sama dengan darah digunakan bunyi ”merah”. Dari kedua kata tersebut (pena dan merah) dapat dibuat sebuah kalimat bermakna menjadi ”Andi membeli sebuah pena merah”.
Unsur-unsur yang terdapat dalam bahasa menurut Bakhtiar (2004:177-179) adalah:
a. Simbol-simbol
b. Simbol-simbol vokal
c. Simbol-simbol vokal arbitrer
d. Suatu sistem yang terstruktur dari simbol-simbol yang arbitrer
e. Dipergunakan oleh para anggota suatu kelompok sosial sebagai alat bergaul satu sama lain
Bahasa mengandung unsur simbol, sesuatu yang diucapkan oleh manusia merupakan kegiatan memberi simbol terhadap suatu obyek nyata dalam dunia praktis. Agar simbol tersebut dapat memenuhi tujuan pembicara maka simbol tersebut harus diucapkan dengan bunyi tertentu yang dapat didengar oleh orang yang dituju sehingga memudahkan pendengar untuk mengetahui dengan jelas obyek yang dimaksud oleh pembicara. Bunyi simbol suatu obyek tidak harus sama antara ucapan dan makna yang dikandungnya, artinya makna suatu obyek dapat diucapkan dengan kata yang berbeda untuk daerah atau komunitas yang berbeda. Para anggota komunitas kelompok sosial menggunakan bahasa untuk dapat berinteraksi satu sama lainnya.
”Bahasa mengkomunikasikan tiga hal yakni buah pikiran, perasaan, dan sikap”. (Suriasumantri, 2003:175) Manusia dapat menyampaikan sesuatu yang dipikirkan kepada orang lain menggunakan bahasa. Dengan bahasa, orang lain dapat mengetahui dan mempelajari sesuatu yang sedang dipikirkan. Dengan bahasa, manusia juga dapat mengekspresikan sesuatu yang dirasakannya kepada orang lain. Orang lain dapat mengetahui seseorang sedang sedih atau senang melalui bahasa yang disimbolkan.
Karya ilmiah pada dasarnya merupakan kumpulan pernyataan yang mengemukakan informasi tentang pengetahuan maupun jalan pemikiran dalam mendapatkan pengetahuan tersebut. Untuk mampu mengkomunikasikan suatu pernyataan dengan jelas maka seseorang harus menguasai bahasa yang baik. (Suriasumantri, 2003:182)
Ketika manusia telah memperoleh suatu pengetahuan melalui kegiatan ilmiah yang dilakukan, maka harus mengkomunikasikan hasil yang telah diperoleh tersebut agar pengetahuannya dapat bermanfaat bagi kemakmuran umat manusia. Hal-hal yang harus dikomunikasikan tersebut meliputi jalan pemikiran untuk memperoleh pengetahuan dan pengetahuan itu sendiri. Pengkomunikasian tersebut dituangkan dalam sebuah karya ilmiah. Untuk dapat menyusun sebuah karya ilmiah, dituntut kemampuan untuk menguasai bahasa yang baik dan benar. Tanpa menguasai bahasa yang baik, tidak mungkin dapat menyusun sebuah karya ilmiah.
Sumarna (2008:134), ”Melalui bahasa manusia dengan sesama manusia lainnya dapat saling menambah dan berbagi pengetahuan yang dimilikinya”. Bahasa menjadi sarana untuk berbagi dengan sesama manusia. Seseorang dapat memberitahukan sesuatu yang diketahuinya kepada orang lain dengan menggunakan bahasa. Dalam proses berbagi tersebut manusia mengalami penambahan pengetahuan, menjadi mengetahui sesuatu yang semula belum diketahui.
Suriasumantri (2003:175), dalam komunikasi ilmiah menonjolkan fungsi simbolik bahasa. Dalam komunikasi ilmiah proses komunikasi harus terbebas dari unsur emotif agar pesan yang disampaikan dapat diterima secara reproduktif, artinya sama dengan pesan yang dikirimkan.
Bahasa merupakan sarana komunikasi maka segala sesuatu yang berkaitan dengan komunikasi tidak terlepas dari bahasa, seperti halnya berpikir sistematis dalam memperoleh ilmu. Tanpa kemampuan berbahasa, seseorang tidak akan dapat melakukan kegiatan ilmiah secara sistematis dan benar.
Dalam komunikasi ilmiah harus memperhatikan fungsi simbolik bahasa, karena komunikasi ilmiah dilakukan untuk menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan kepada orang lain. Agar komunikasi dapat berjalan dengan baik maka harus menggunakan bahasa yang terbebas dari unsur emotif. Unsur emotif dalam bahasa hanya akan mengacaukan komunikasi ilmiah sehingga pesan yang disampaikan tidak dapat diterima dengan baik oleh penerima. Komunikasi simbolik yang bebas dari unsur emotif dapat mencegah salah informasi.
Bahasa sebagai sarana ilmiah mempunyai kelemahan. Kelemahan tersebut menurut Suriasumantri (2003:182-187) antara lain:
a. bahasa bersifat multifungsi,
b. bahasa memiliki arti yang tidak jelas dan eksak yang dikandung oleh kata-kata yang membangun bahasa,
c. bahasa mempunyai beberapa kata yang memberikan arti yang sama, dan
d. konotasi bahasa yang bersifat emosional.
Keberadaan bahasa sebagai sarana berpikir ilmiah ternyata memiliki kelemahan-kelemahan yang melekat pada bahasa tersebut. Bahasa sulit dilepaskan dari emosi dan sikap seseorang, sedangkan bahasa sebagai sarana ilmiah dituntut untuk obyektif agar informasi yang dikomunikasikan dapat diterima dengan baik oleh orang lain. Kelemahan berikutnya adalah sulit untuk mendefinisikan suatu obyek dengan sejelas-jelasnya, terkadang karena keinginan untuk memberikan penjelasan yang detil tentang suatu obyek, yang terjadi justru komunikasi yang dilakukan terkesan bertele-tele dan menjadi tidak jelas.
Kelemahan bahasa juga dapat dilihat dari keberadaan beberapa kata yang yang memiliki arti sama atau sebaliknya beberapa arti cukup menggunakan satu kata saja. Selain itu, ada kelemahan bahasa lain yaitu bahasa sulit dilepaskan dari emosional seseorang. Ada makna-makna tertentu yang dapat ditambahkan pada makna sebenarnya sebagai akibat emosional seseorang.
5. Logika sebagai sarana berpikir ilmiah
Menurut Bakhtiar (2009:212), ”Logika adalah sarana untuk berpikir sistematis, valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu, berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan atura-aturan berpikir, seperti setengah tidak boleh lebih besar daripada satu”.
Logika merupakan kumpulan kaidah-kaidah yang memberi jalan (system) berpikir tertib dan teratur sehingga kebenarannya dapat diterima oleh orang lain. Logika akan memberi suatu ukuran (norma) yakni suatu anggapan tentang benar dan salah terhadap suatu kebenaran. Ukuran kebenarannya adalah logis (Sumarna, 2008:141).
Logika adalah bidang pengetahuan yang mempelajari tentang asas, aturan, dan prosedur penalaran yang benar. Dengan istilah lain logika sebagai jalan atau cara untuk memperoleh pengetahuan yang benar (Susanto, 2011:143)
Sebagai sarana berpikir ilmiah, logika mengarahkan manusia untuk berpikir dengan benar sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir yang benar. Dengan logika manusia dapat berpikir dengan sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Jika ingin melakukan kegiatan berpikir dengan benar maka harus menggunakan kaidah-kaidah berpikir yang logis. Dengan logika dapat dibedakan antara proses berpikir yang benar dan proses berpikir yang salah.
Menurut Susanto (2011:146), ada tiga aspek penting dalam memahami logika, agar mempunyai pengertian tentang penalaran yang merupakan suatu bentuk pemikiran, yaitu pengertian, proposisi, dan penalaran. Pengertian merupakan tanggapan atau gambaran yang dibentuk oleh akal budi tentang kenyataan yang dipahami, atau merupakan hasil pengetahuan manusia mengenai realitas. Proposisi atau pernyataan adalah rangkaian dari pengertian-pengertian yang dibentuk oleh akal budi atau merupakan pernyataan mengenai hubungan yang terdapat di antara dua buah term. Penalaran adalah suatu proses berpikir yang menghasilkan pengetahuan.
Keberadaan ketiga aspek tersebut sangat penting dalam memahami logika. Dimulai dari membentuk gambaran tentang obyek yang dipahami, kemudian merangkainya menjadi sebuah hubungan antar obyek, dan terakhir melakukan proses berpikir yang benar untuk menghasilkan pengetahuan. Tiga aspek dalam logika tersebut harus dipahami secara bersama-sama bagi siapapun yang hendak memahami dan melakukan kegiatan ilmiah. Tanpa melalui ketiga proses aspek logika tersebut, manusia akan sulit memperoleh dan menghasilkan kegiatan ilmiah yang benar.
Terdapat dua cara penarikan kesimpulan melalui cara kerja logika. Dua cara itu adalah induktif dan deduktif. Logika induktif adalah cara penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum dan rasional. Logika deduktif adalah cara penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum rasional menjadi kasus-kasus yang bersifat khusus sesuai fakta di lapangan (Sumarna, 2008:150)
Kedua jenis logika berpikir tersebut bukanlah dua kutub yang saling berlawanan dan saling menjatuhkan. Kedua jenis logika berpikir tersebut merupakan dua buah sarana yang saling melengkapi, maksudnya suatu ketika logika induktif sangat dibutuhkan dan harus digunakan untuk memecahkan suatu masalah, dan pada saat lain yang tidak dapat menggunakan logika induktif untuk memecahkan masalah maka dapat digunakan logika deduktif. Seseorang yang sedang berpikir tidak harus menggunakan kedua jenis logika berpikir tersebut, tetapi dapat menggunakan satu logika berpikir sesuai dengan kebutuhan obyek dan kemampuan individunya.
6. Matematika sebagai sarana berpikir ilmiah
Bahasa sebagai alat komunikasi verbal mempunyai banyak kelemahan, karena tidak semua pernyataan dapat dilambangkan dengan bahasa. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan bahasa tersebut maka digunakanlah sarana matematika.
Suriasumantri (2003:191), ”Matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat kubur (pen: kabur), majemuk dan emosional dari bahasa verbal”.
Matematika sebagai sarana berpikir deduktif menggunakan bahasa artifisial, yakni murni bahasa buatan manusia. Keistimewaan bahasa ini adalah terbebas dari aspek emotif dan efektif serta jelas terlihat bentuk hubungannya. Matematika lebih mementingkan kelogisan pernyataan-pernyataannya yang mempunyai sifat yang jelas (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2010:107).
Dengan matematika, sifat kabur, majemuk dan emosional dari bahasa dapat dihilangkan. Lambang yang digunakan dalam matematika lebih eksak dan jelas, lambang-lambang tersebut tidak bisa dicampuri oleh emosional seseorang, suatu lambang dalam matematika jelas hanya mengandung satu arti sehingga orang lain tidak dapat memberikan penafsiran selain dari maksud pemberi informasi. Misalnya, seseorang yang mengatakan: ”Saya punya satu orang adik perempuan”, orang lain dapat menerima bahwa orang itu mempunyai satu adik, tidak mungkin orang lain akan mempunyai penafsiran bahwa orang itu mempunyai dua atau tiga orang adik.
”Matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif” (Suriasumantri, 2003:193). Matematika biasanya menggunakan bahasa numeric yang menafikan unsur emosi, kabur dan majemuk seperti yang terdapat dalam bahasa biasa. Melalui unsur ini, manusia dapat melakukan pengukuran secara kuantitatif yang tidak diperoleh dalam bahasa yang selalu memberi kemungkinan menggunakan perasaan yang bersifat kualitatif (Sumarna, 2008:143).
Matematika memungkinkan untuk melakukan pengukuran yang jelas. Untuk membandingkan tinggi dua buah obyek yang berbeda, misal pohon jagung dan pohon mangga. Dengan bahasa hanya dapat dikatakan bahwa pohon mangga lebih tinggi dari pohon jagung, tetapi tidak tahu dengan jelas berapa perbedaan tinggi kedua pohon tersebut. Dengan matematika maka perbedaan tinggi kedua pohon tersebut dapat diketahui dengan jelas dan tepat. Misal, setelah diukur ternyata tinggi pohon jagung 100 cm dan tinggi pohon mangga 250 meter, maka dapat dikatakan bahwa pohon mangga lebih tinggi 150 cm dari pohon jagung. Matematika memberikan jawaban yang lebih eksak dan menjadikan manusia dapat menyelesaikan masalah sehari-harinya dengan lebih tepat dan teliti.
Matematika sebagai sarana berpikir deduktif, memungkinkan manusia untuk mengembangkan pengetahuannya berdasarkan teori-teori yang telah ada. Misal, jumlah sudut sebuah lingkaran adalah 3600. Dari pengetahuan ini dapat dikembangkan, seperti besar sudut keliling lingkaran sama dengan setengah besar sudut pusat jika menghadap busur yang sama.
7. Statistika sebagai sarana berpikir ilmiah
Suriasumantri (2003:225), ”Statistika harus mendapat tempat yang sejajar dengan matematika agar keseimbangan berpikir deduktif dan induktif yang merupakan ciri dari berpikir ilmiah dapat dilakukan dengan baik”. Orang yang ingin mampu melaksanakan kegiatan ilmiah dengan baik tidak boleh memandang sebelah mata terhadap statistika. Penguasaan statistika sangat diperlukan bagi orang-orang yang akan menarik kesimpulan dengan sah. Statistika harus dipandang sejajar dengan matematika. Kalau matematika merupakan sarana berpikir deduktif maka orang dapat menggunakan statistika untuk berpikir induktif. Matematika dan statistika sama-sama diperlukan untuk menunjang kegiatan ilmiah yang benar sehingga akan menghasilkan suatu pengetahuan yang benar pula.
Suriasumantri (2003:225),
Statistika merupakan sarana berpikir yang diperlukan untuk memproses pengetahuan secara ilmiah. Sebagai bagian dari perangkat metode ilmiah maka statistika membantu kita untuk melakukan generalisasi dan menyimpulkan karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan bukan terjadai secara kebetulan.
Statistika sebagai sarana berpikir ilmiah tidak memberikan kepastian namun memberi tingkat peluang bahwa untuk premis-premis tertentu dapat ditarik suatu kesimpulan, dan kesimpulannya mungkin benar mungkin juga salah. Langkah yang ditempuh dalam logika induktif menggunakan statistika adalah:
a. Observasi dan eksperimen,
b. Memunculkan hipotesis ilmiah,
c. Verifikasi dan pengukuran, dan
d. Sebuah teori dan hukum ilmiah. (Sumarna, 2008:146)
Untuk mengetahui keadaan suatu obyek, seseorang tidak harus melakukan pengukuran satu persatu terhadap semua obyek yang sama, tetapi cukup dengan melakukan pengukuran terhadap sebagian obyek yang dijadikan sampel. Walaupun pengukuran terhadap sampel tidak akan seteliti jika pengukuran dilakukan terhadap populasinya, namun hasil dari pengukuran sampel dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Setelah melakukan observasi dan eksperimen kemudian merumuskan suatu hipotesis untuk dilakukan verifikasi dan uji coba terhadap data dan keadaan yang sebenarnya di lapangan. Berdasarkan pengkajian-pengkajian terhadap data dan keadaan di lapangan tersebut dapat dirumuskan suatu kesimpulan yang nantinya menjadi sebuah teori atau hukum ilmiah. Artinya, kesimpulan yang ditarik bukanlah sesuatu yang kebetulan terjadi, tetapi telah melalui tahap-tahap berpikir tertentu dengan melibatkan data dan fakta yang terjadi di lapangan.
C. Kesimpulan
Sarana berpikir ilmiah merupakan alat untuk membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang akan ditempuh agar memperoleh pengetahuan dengan benar.
Tujuan mempelajari sarana berpikir ilmiah adalah agar dapat melakukan kegiatan penelaahan ilmiah dengan baik untuk memperoleh pengetahuan yang benar sehingga dapat meningkatkan kemakmuran hidup.
Keseluruhan tahapan kegiatan ilmiah membutuhkan alat bantu yang berupa sarana berpikir ilmiah. Sarana berpikir ilmiah berfungsi hanyalah sebagai alat bantu bagi manusia untuk berpikir ilmiah agar memperoleh ilmu.
Bahasa merupakan sarana mengkomunikasikan cara-cara berpikir sistematis dalam memperoleh ilmu. Tanpa kemampuan berbahasa, seseorang tidak akan dapat melakukan kegiatan ilmiah secara sistematis dan benar.
Logika sebagai sarana berpikir ilmiah mengarahkan manusia untuk berpikir dengan benar sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir yang benar. Logika membantu manusia dapat berpikir dengan sistematis yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Jika ingin melakukan kegiatan berpikir dengan benar maka harus menggunakan kaidah-kaidah berpikir yang logis. Logika dapat membedakan antara proses berpikir yang benar dan proses berpikir yang salah.
Statistika tidak boleh dipandang sebelah mata oleh orang yang ingin mampu melaksanakan kegiatan ilmiah dengan baik. Penguasaan statistika sangat diperlukan bagi orang-orang yang akan menarik kesimpulan dengan sah. Statistika harus dipandang sejajar dengan matematika. Kalau matematika merupakan sarana berpikir deduktif maka orang dapat menggunakan statistika untuk berpikir induktif. Berpikir deduktif dan berpikir induktif diperlukan untuk menunjang kegiatan ilmiah yang benar sehingga akan menghasilkan suatu pengetahuan yang benar pula.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Amsal. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Sumarna, Cecep. 2008. Filsafat Ilmu. Bandung: Mulia Press.
Suriasumantri, Jujun S. 2003. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM. 2010. Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Liberty.
Susanto, A. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT. Bumi Aksara.