Ahlan Wasahlan

Assalamu'alaikum Warohmatullohi Wabarokatuhu
!!!SELAMAT DATANG!!!
"Tuhan Selalu Memberikan yang Terbaik untuk Hamba-Nya."


Tuesday, January 17, 2012

Adz-Dzariyat: 56-58 dan Hadits Tarbawi


Tafsir Ayat dan Hadits Tarbawi
(Q. S, Adz-Dzariyat: 56-58 & Hadits Pergaulan Suami Istri)



 
Oleh
Nama                        : Mukhamad Fathoni
NIM                          : 2110104109
Program Studi         : Ilmu Pendidikan Islam
Konsentrasi             : Pendidikan Agama Islam
Mata Kuliah             : Tafsir Hadits Tarbawi

Dosen Pengampu: Dr. Edyson Saifullah, M.A.






Program Pascasarjana IAIN Raden Fatah
Palembang
2011

Al-Qur’an Surat Adz-Dzariyat Ayat 56-58 dan Hadits Tarbawi
A.    Al-Qur’an surat Adz-Dzariyat ayat 56-58
Rutinitas hidup yang dijalani terkadang menjebak manusia yang membuatnya berpikir bahwa hidup ini ibarat putaran atau siklus tiada henti. Seakan-akan hidup ini hanya satu kesamaan dengan yang lain. Maksudnya ketika lahir, kemudian sekolah, menikah, punya anak, tua kemudian menunggu ajal. Setidaknya seperti itu yang selama ini dijalani.
Sulit sekali bagi manusia jika hanya mengandalkan logika untuk mencari jawaban apa sebenarnya ini kehidupan manusia. Namun jawaban yang tepat dapat ditemukan dalam sebuah kitab yang memang dibuat oleh si perancang kehidupan ini sekaligus pemiliknya. Jawaban dapat diketemukan jika manusia menyadari siapa yang menciptakan kehidupan dunia dan seisinya. Allah SWT dalam Adz-Dzariat .ayat 56-59 berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالاِنسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ ﴿٥٦﴾  مَا أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ ﴿٥٧﴾ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ ﴿٥٨﴾
Kosakata (Atabik Ali, 1998):
خلق                : menciptakan                      رزق                  : rezeki
الجنّ                : jin                                      يطعمون              : memberi makan
الانس              : manusia                             القوة                   : Kekuatan
يعبدون             : menyembah                       المتين                 : Maha Kokoh
أريد                : menghendaki

Artinya: 56. Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
57. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.
58. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.
Tafsir:  56. (Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku) pengertian dalam ayat ini sama sekali tidak bertentangan dengan kenyataan, bahwa orang-orang kafir tidak menyembah-Nya. Karena sesungguhnya tujuan dari ayat ini tidaklah memastikan keberadaannya. Perihalnya sama saja dengan pengertian yang terdapat di dalam perkataanmu, "Aku runcingkan pena ini supaya aku dapat menulis dengannya." Dan kenyataannya terkadang kamu tidak menggunakannya.
57. (Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka) untuk-Ku dan untuk mereka serta untuk selain mereka (dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan) baik dari diri mereka atau pun dari selain mereka.
58. (Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh) yakni Sangat Perkasa.
Shihab (2003:355),
Ayat di atas (pen: ayat 56) menggunakan bentuk persona pertama (Aku) setelah sebelumnya menggunakan persona ketiga (Dia/Allah). Ini bukan saja bertujuan menekankan pesan yang dikandungnya tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa perbuatan-perbuatan Allah melibatkan malaikat atau sebab-sebab lainnya. Penciptaan, pengutusan Rasul, turunnya siksa, rezeki yang dibagikan-Nya melibatkan malaikat dan sebab-sebab lainnya, sedang di sini karena penekanannya adalah beribadah kepada-Nya semata-mata, maka redaksi yang digunakan berbentuk tunggal dan tertuju kepada-Nya semata-mata tanpa memberi kesan adanya keterlibatan selain Allah Swt.

Maksud ayat tersebut adalah Allah menciptakan manusia dengan tujuan untuk menyuruh mereka beribadah kepada-Nya, bukan karena Allah butuh kepada mereka. Ayat tersebut dengan gamblang telah menjelaskan bahwa Allah Swt dengan menghidupkan manusia di dunia ini agar mengabdi / beribadah kepada-Nya. Bukan sekedar untuk hidup kemudian menghabiskan jatah umur lalu mati.
Shihab (2003:356),
Ibadah terdiri dari ibadah murni (mahdhah) dan ibadah tidak murni (ghairu mahdhah). Ibadah mahdhah adalah ibadah yang telah ditentukan oleh Allah, bentuk, kadar, atau waktunya, seperti shalat, zakat, puasa dan haji. Ibadah ghairu mahdhah adalah segala aktivitas lahir dan batin manusia yang dimaksudkannya untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Berdasarkan ayat tersebut, dengan mudah manusia bisa mendapat pencerahan bahwa eksistensi manusia di dunia adalah untuk melaksanakan ibadah / menyembah kepada Allah Swt dan tentu saja semua yang berlaku bagi manusia selama ini bukan sesuatu yang tidak ada artinya. Sekecil apapun perbuatan itu. Kehadiran manusia ke bumi melalui proses kelahiran, sedangkan kematian sebagai pertanda habisnya kesempatan hidup di dunia dan selanjutnya kembali menghadap Allah untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya semasa hidup di dunia.
Syaikul Islam, Ibnu Taimiyah (dalam Nur Hasanah, 2002), memandang bahwa makna ibadah lebih dalam dan luas. Makna ibadah sampai pada unsur yang rumit sekalipun. Unsur yang sangat penting di dalam mewujudkan ibadah ialah sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah SWT yaitu unsur cinta. Tanpa unsur cinta tersebut, mustahil tujuan pokok diciptakan manusia, para rasul diutus, diturunkan kitab-kitab, ialah hanya untuk berbadah kepada Allah SWT dapat tercapai.
Pada ayat 57,  Allah menegaskan bahwa Allah sekali-kali tidak pernah membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Semua bentuk ibadah yang disyariatkan akan dikembalikan balasannya kepada makhluk-Nya. Allah menciptakan manusia, dan Allah juga yang memberikan tuntunan kepada manusia agar  memperoleh kebahagiaan di sisi-Nya kembali. Allah menghendaki agar manusia hidup bahagia di dunia dan akhirat. Setelah manusia dilahirkan ke dunia, manusia diberi keleluasaan untuk memilih. Pilihannya itulah yang menentukan hasil akhir dari perjalanan hidup manusia sampai di Hari Akhir nanti.
Ayat 58, Allah memberikan ultimatum  bahwa hanya Allah yang Maha Perkasa. Semua makhluk berada di bawah kekuasaan-Nya. Allah yang memberikan rezeki, Allah tidak membutuhkan rezeki.




B.     Hadits Nabi Muhammad SAW

Nabi Muhammad SAW bersabda:
َوَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم (اَمَّا لَوْ أَنَّ أَحَدُهُمْ  حِيْنَ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ : بِسْمِ اَللَّهِ . اَللَّهُمَّ جَنِّبْنِى اَلشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا; ثم قَدر بَيْنَهُمَا فِي ذَلِكَ او قضى ولد, لَمْ يَضُرَّهُ اَلشَّيْطَانُ أَبَدًا"( 
Kosakata (Atabik Ali, 1998):
أحدهم              : salah satu di antara                      
حين                        : ingin                                      قدر        : menghendaki
يأتى            : mendatangi (menggauli)        قضى     : menghasilkan
أهله            : istrinya                                   ولد        : anak
جنّب           : menjauhkan                           يضر      : membahayakan
الشيطان       : syaitan                                   أبدا        : selamanya
Artinya:  Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Seandainya salah seorang di antara kamu ingin menggauli istrinya lalu membaca doa: (artinya = Dengan nama Allah, Ya Allah jauhkanlah setan dari kami dan jauhkanlah setan dari apa yang engkau anugerahkan pada kami), maka jika ditakdirkan dari pertemuan keduanya itu menghasilkan anak, setan tidak akan mengganggunya selamanya."
Shihab (2003:356), ”Hubungan seks pun dapat menjadi ibadah, jika itu dilakukan sesuai tuntunan agama”.
Salah satu nikmat yang diberikan oleh Allah kepada orang-orang yang telah menikah adalah surga dunia dalam hubungan suami istri. Dalam agama Islam, hubungan suami istri hukumnya haram bila dilakukan oleh pasangan yang belum mengikat diri dalam akad pernikahan. Akan tetapi setelah menikah, hubungan suami istri hukumnya berubah menjadi wajib. Bahkan ada doa hubungan suami istri yang hendaknya dilafadzkan sebelum suami istri berhubungan.
Rasulullah SAW telah mengajarkan doa hubungan suami istri dalam haditsnya. Salah satunya adalah hadits di atas. Ada beberapa hikmah yang dapat dipetik dari sunah Nabi mengucapkan doa tersebut, yaitu:
1.      Mengingat suami istri agar selalu bersyukur karena telah dianugerahkan pasangan pelengkap hidupnya. Bersama pasangan hidupnya ia dapat memenuhi kebutuhan batinnya yang bernilai ibadah.
2.      Meluruskan tujuan utama sebuah pernikahan, yaitu untuk melahirkan generasi baru yang memperbanyak hamba Allah yang menegakkan kalimat syahadat di muka bumi. Pernikahan bukan sekedar cinta buta atau  guna memuaskan nafsu birahi semata.
3.      Mengingat suami istri bahwa syaitan adalah musuh utama bagi manusia. Syaitan tidak berhenti menggoda dan senantiasa menjerumuskan manusia pada jalan yang sesat. Bahkan sejak dalam proses kelahiran anak cucu Adam.
4.      Hanya kepada Allah semata menyerahkan segala hasil dari usaha yang telah dilakukan. Keberhasilan pertemuan sel sperma dan sel ovum tidak lepas dari kehendak-Nya. Sekuat apapun keinginan untuk memiliki anak atau menolak kehadiran anak, hanya  Allah yang mempunyai kuasa menentukan hasilnya.
5.      Kembali mengingatkan bahwa suami istri harus selalu mengharap ridla-Nya dalam berbagai kegiatan. Bahkan saat berhubungan suami istri. Karena ridla-nya, bukan hanya nikmat dunia yang didapatkan, pahala darinya kelak akan diraih pula.
6.      Anak merupakan titipan Allah, amanah dari-Nya yang harus dirawat dan dididik sebaik-baiknya. Karena titipan, Allah bisa saja mengambilnya sewaktu-waktu atau menitipkan  yang keadaannya istimewa, berbeda dari anak-anak lainnya.




















DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim.
Al-Hafidz Imam Ibnu Hajar Al-Asqalany. 2008. Bulughul Maram min Adillatil Ahkam. Bandung: Pustaka Alhidayah.
Ali, Atabik. 1998. Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. Yogyakarta: Multi Karya Grafika.
Hasanah, Nur, Labib MZ. 2002. Hakekat Ibadah. Surabaya: Bintang Usaha Jaya.
Shihab, M. Quraish. 2003. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera.

No comments: